Komunitas Pena Dan Lensa

hjhh

Contoh Teks Berjalan dari Kiri ke Kanan
Komunitas Pena dan Lensa

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 22 Oktober 2017

Hari santri nasional, inilah pesan Bupati Purwakarta untuk santri nusantara



kopelpurwakartanews- Inilah  pesan bupati purwakarta kang Dedi Mulyadi untuk santri nusantara, saat ditemui kopelpurwakarta.blogspot.com dihalaman pemerintah purwakarta, Sabtu (21/10/2017). (Rez)

Tonton dibawah ini.


Minggu, 08 Oktober 2017

Semangat Berpancasila Dalam Toleransi Purwakarta



Semangat Berpancasila Dalam Toleransi Purwakarta

Oleh   : Hadi Ibnu  


Negara Indonesia berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila merupakan falsafah Indonesia dan mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda suku bangsa, agama, bahasa dan adat istiadat namun tetap satu jua. Dasar pemerintahan negara Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, arti dari demokrasi tersebut adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan Demokrasi Pancasila artinya demokrasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah serta pedoman hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila telah membimbing lahir batin perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam pancasila tercantum kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kekuatan, serta kesaktiannya, dan tidak ada satu kekuatan manapun yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga Pancasila itu sendiripun sejatinya adalah jatidiri bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per-kata, "Bhinneka" berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda, "Neka" dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. "Tunggal" berarti "satu" dan "Ika" berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Ketika berbicara tentang bangsa, saya sedikit teringat pendapat dari salah satu Ilmuwan yg pernah di jelaskan oleh guru PKN waktu di sekolah dulu, yaitu "Ernest Renanat" (seorang ilmuwan Prancis), ia berpendapat bahwa bangsa adalah kesatuan jiwa. Jiwa yang mengandung kehendak untuk bersatu, orang-orang merasa diri satu dan mau bersatu.  Artinya Bangsa dapat terdiri atas ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia, tetapi sebenarnya merupakan kesatuan jiwa. Apabila semua manusia yang hidup di dalamnya mempunyai kehendak untuk bersatu maka sudah merupakan satu bangsa.

Pan­ca­sila menjadi jawaban kegeli­sahan kita selama ini tentang menjaga egaliter dan kebera­gaman yang selalu dipermasalahkan di Indonesia. Pan­casila menjelaskan sila per­tama Ketuhanan Yang Ma­ha Esa telah menjadi bentuk ke­rendahan hati semua umat beragama kepada Tuhannya masing-masing. Dalan artian bahwasannya se­mua agama yang mengajarkan cinta ka­sih. Jika kita perhatikan sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Sisi “adil” men­jadi kata kemerdekaan indi­vidu setiap manusia tanpa ada keterikatan kepada siapaun kecuali penghambaanya kepa­da Tuhan. Itu pun diperkuat sila ke empat yang juga me­ngan­dung kata “musyawarah” sebenarnya ini adalah etika Islam, kata Nurcholish Madjid ini merupakan etika Islam yang dimasukan kedalam nila-nilai yang umum. Maka dari itu, sila kelima yang mengandung isi pemahaman tentang Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia meru­pakan suatu upaya pembebasan ma­syarakat secara luas, dimana saat ki­­ta telah merdeka dan men­da­­patkan pejernihan diri seharusnya bisa menjadi se­ba­gai sosok atau seorang yang bisa diajak ber­­musyawarah, yang hatinya tak penuh dengan kebenciaan bahwasannya dengan me­­yakini kemerdekaan ini­vi­du yang kita miliki dalam berbeangsa dan bernegara itu beda dengan pem­­bebasan diri  sebagai ben­tuk penghambaan kepada Tu­han. Ada batasan dimana kebebasan itu dimiliki, diperjuangkan dan dipertahankan, namun tetap tidak lepas jalur dari attitude antar sesama. Karena, ketika berpancasila tanpa dibarengi dengan spiritualitas dan emosionalitas, masyarakat akan sulit menerima dan sulit memahami perbedaan yang dihadapinya. Sebab sejatinya etnisitas, religiusitas maupun ideologi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia dengan ke-Bhineka Tunggal Ika-annya, serta sikap toleransilah yang menjadi perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa.

Toleransi di purwakarta hari ini menjadi sorotan nusantara dan dunia, karena sebagian besar contoh pada tahun ini Purwakrta terpilih menjadi tuan rumah Word Tolerance Conference (WTC) 2017. Acara WTC itu diikuti oleh puluhan delegasi dari berbagai negara di dunia, ini adalah prestasi yang patut dibanggakan oleh masyarakat Purwakarta khusunya, bahwa ini adalah sebuah bentuk usaha yang diprogramkan oleh pemerintah Purwakarta untuk mengajak seluruh umat manusia dalam menciptakan kedamaian dunia dengan saling memahami dan menghormati setiap perbedaan yang dimiliki. Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi banyak mengajari kepada masyarakatnya bagaimana kita menolong, menghormati dan membangun cinta kasih antar sesama, dengan menerapkan banyak falsafah tentang kebudayaan Sunda dan spirit berpancasila.

Sebanyak saya mencari tahu tentang daerah mana yang memiliki nilai toleransi yang tinggi, hanya di Purwakarta lah toleransi diajarkan dan diaplikasikan kepada para pelajar dan masyarakat. Karenanya, kini di Purwakarta telah diterapkan sebuah program penyediaan sarana ibadah di sekolah-sekolah di Kabupaten Purwakarta, yang mana sarana ibadah itu tidak dikhususkan hanya untuk satu agama saja. Bahkan, Purwakarta telah memiliki program unggulan belajar khusus tentang agama yang rutin diadakan pada hari jum’at, seperti mengaji kitab kuning yang diajarkan kepada pelajar yang beragama islam, memakai sarung dan kopeah hitam khusus ketika hari jum’at. Ini adalah suatu pembentukan sikap toleransi sejak dini kepada pelajar khususnya, karena dengan berpancasila kita bisa mengerti akan toleransi yang sebenarnya.

Akan tetapi, perasaan prihatin timbul atas terkikisnya penghargaan terhadap ke-Bhinekaan dan kedamaian bangsa, yang hari ini muncul dalam bentuk disintegrasi dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan segala. Disadari bahwa, kebangkrutan moral kebangsaan seperti inilah yang nantinya akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka sesama saudara se-tanah air. Kondisi ini juga akan menjadikan bangsa Indonesia semakin rapuh dan kehilangan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Karena, Indonesia masa depan ditentukan oleh para pemuda masa kini, dengan harap muda-mudi pertiwi mampu memiliki perasaan lebih peka lagi untuk membaca lingkungan, sosial, kebutuhan alam, mengkaji keagamaan, dan segala yang menyangkut soal tenggang rasa. Sebab dari sanalah sikap toleransi antar sesama lahir dan tumbuh besar dengan baik, sehingga Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sekedar rumus serta kode buntut yang hanya berisi harapan dan khayalan.

Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah




Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah
oleh: Abdillah ketua UKM Jurnalis STAI Dr Khez Muttaqien

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS. At Taubah : 36).
Y
ang paling awal dan harusnya menjadi ajang serta tempat yang berkesan bagi Hamba Allah, itulah Muharram. Nama yang tak asing bagi semua Muslim, nama bulan yang sengaja untuk dijadikan pijakan awal dalam tahun Hijriyyah, agar menempuh hidup baru dengan situasi yang baru pula—kebaikan. Namun ada hal esensial yang kerap terlupakan, atau entah sengaja dilupakan dengan seremoni-seremoni belaka tak berujung puas.
Andai semua tahu, andai semua mengerti akan esensi darinya. Meski memang hanya Dia, Allah Yang Maha Tahu akan segala esensi. Memang adanya seperti begitu, namun pantaskah kita sebagai makhluk yang katanya paling sempurna ini tak tahu seremeh apapun dari al-Muharram ini?
Sang pionir Islam Rasulullah SAW pernah bersabda,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
 “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebetulnya tak perlu melihat kepada dalil di atas pun, kita sudah tahu apa arti Muharram sendiri secara sepintas. Ya, kata bentukan dari Harrama, Muharramun (objek—maf’ul) memiliki maknya yang secara telah telah menunjukkan akan kesucian bulan ini.
Dengan adanya larangan Allah untuk melakukan kezhaliman, kelaliman dan aniaya serta kekejian lainnya, (QS. At Taubah : 36).
Menghadapi realita dengan adanya satu-dua dalil di atas saja—mengingat kita sedang hangat duduk di bulan Muharram ini.—Sudah  seyogianya bagi para “penderita” kontemplasi dan Ulul albab, agar mengambil ibrah serta bertanya ke dalam diri,
“Apa yang telah kita lakukan pada hari warsa di belakang sana?” “Apa yang akan kita perbaiki?” “Apa yang telah kita lakukan, hingga melangkah sejauh ini?”
Hura-hura? Bercanda? Tak tahu kemana?
Seorang Hamba dan penghamba sejati akan berkata, “Ibadahku kepada-Nya, sejauh manakah?”
Sang pencari jati diri (serta ilmu) akan berujar, “Buang jauh-jauh yang tak perlu dan kegagalan, kita cari peluang sebanyak mungkin dan mengusahakannya! Wahai diri!”        
Ahli bersyukur akan bergumam, “Oh, Ilahi… Umur ini kian berkurang,  kian hari kian bertambah tua, tahunmu tengah menyeok-nyeok saja dengan cepat, perkenankanlah hamba-Mu ini mensyukuri segala nikmat yang tak terhitung.”

Namun, berbeda dengan sang pionir fi sabilillah, ia akan berjuang senantiasa menjadi segala yang terbaik, menyatukan watak dan tabi’at halus dari segala lini Hamba Allah dengan padu dan teliti. Meski jurang keberhasilan secara pluktuasi kerap dihampirinya, terhambat kerikil pecah yang bersepuh debu, dan asa yang sering naik menghulu dan turun menghilir. Iman tetap terusaha untuk dijaga dan kesucian pangkat Hamba-Nya harus tetap tersematkan indah di hati.
Tak perlu menghamba kepada selainnya, menjauh-menjauh dan menolak.
Sang Pionir Lillah akan berkata pada dirinya, “Aku telah menghampiri sebagian kegagalan, separuh umur pada warsa kemarin. Tak akan kubiarkan kegagalan terus mengintai dan menguntit.”
“Ia (kegagalan) harus kuhadapi dengan asa dan serbuk kekuasaan-Nya.  Tak perlu juga orang disekitarku mengetahui kepahitan ini, yang ada hanya aku yang menjadi sinar.”
Sang pionir lillah tahu, Muharram akan menjadi sebuah pijakan awal untuk menempa dirinya hingga ke garis depan, tak perlu bersama banyak teman untuk memperbaiki dirinya, partikel kecil dirinya adalah teman. Allah pun cukup. Yang lain hanya wasilah keridhaan-Nya.
Sang pionir lillah akan mencoba menggunakan Muharram sebagai batu sandungan awal menghadapi dinamika yang akan dihadapi.
Ia akan mencoba menjadi pengelana yang siap mengantarkan cahaya terang benderang untuk orang di sekitarnya, bukan hanya sebatas menjadi teman yang dilupakan dan melupakan.

“Tak apa,” katanya, “Pengorbanan dalam suatu proses, tak akan membohongiku, ada Dia Yang Maha Mengetahui.”
 فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Maka janganlah kalian menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.”

Ia akan mengingat penggalan ayat suci tersebut, kezhaliman yang tak ada toleransi sangat di larang dalam Muharram. Oleh karena itu, sang pionir lillah akan berusaha tetap adil dan proporsional.
Menjadi Hamba yang beribadah dan mengambil bekal dari hari kemarin hanya untuk-Nya, menjadi insan yang bersyukur atas umur dan nikmat yang tercecap sedap di lidah dan perasaan, serta menjadi pencari jati diri (serta ilmu) yang cakap mengambil segala hal yang halal untuk diperjuangkan dan modal usaha untuk investasi di hari esok. Hanya menempa diri untuk kembali disinarkan kepada sesamanya, lebih dari sekedar teman—meski mereka temannya tak tahu.

Bak matahari yang tak mengharap balasan sinar kehangatan dari para manusia, seperti menjadi angin segar yang tak mengharap ada sumber lain yang menyejukkannya.
Bermodal diri sendiri, untuk mencari ridho-Nya. Nama orang lain hanya untuk diperjuangkan.
Muharram bukan sekedar baru, Muharram bukan sekedar pengharapan semu, Sang Pionir lillah yang cakap akan menggunakan momentum ini sebagai ajang mahabbah dan tempaan kerinduan.[]     

Entri yang Diunggulkan

Oleh: Hadi Ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU dan wakil sekretaris  PC IPNU Purwakarta) Melibatkan kembali para pelajar dan sebaris ...