Komunitas Pena Dan Lensa

hjhh

Contoh Teks Berjalan dari Kiri ke Kanan
Komunitas Pena dan Lensa

Minggu, 08 Oktober 2017

Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah




Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah
oleh: Abdillah ketua UKM Jurnalis STAI Dr Khez Muttaqien

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS. At Taubah : 36).
Y
ang paling awal dan harusnya menjadi ajang serta tempat yang berkesan bagi Hamba Allah, itulah Muharram. Nama yang tak asing bagi semua Muslim, nama bulan yang sengaja untuk dijadikan pijakan awal dalam tahun Hijriyyah, agar menempuh hidup baru dengan situasi yang baru pula—kebaikan. Namun ada hal esensial yang kerap terlupakan, atau entah sengaja dilupakan dengan seremoni-seremoni belaka tak berujung puas.
Andai semua tahu, andai semua mengerti akan esensi darinya. Meski memang hanya Dia, Allah Yang Maha Tahu akan segala esensi. Memang adanya seperti begitu, namun pantaskah kita sebagai makhluk yang katanya paling sempurna ini tak tahu seremeh apapun dari al-Muharram ini?
Sang pionir Islam Rasulullah SAW pernah bersabda,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
 “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebetulnya tak perlu melihat kepada dalil di atas pun, kita sudah tahu apa arti Muharram sendiri secara sepintas. Ya, kata bentukan dari Harrama, Muharramun (objek—maf’ul) memiliki maknya yang secara telah telah menunjukkan akan kesucian bulan ini.
Dengan adanya larangan Allah untuk melakukan kezhaliman, kelaliman dan aniaya serta kekejian lainnya, (QS. At Taubah : 36).
Menghadapi realita dengan adanya satu-dua dalil di atas saja—mengingat kita sedang hangat duduk di bulan Muharram ini.—Sudah  seyogianya bagi para “penderita” kontemplasi dan Ulul albab, agar mengambil ibrah serta bertanya ke dalam diri,
“Apa yang telah kita lakukan pada hari warsa di belakang sana?” “Apa yang akan kita perbaiki?” “Apa yang telah kita lakukan, hingga melangkah sejauh ini?”
Hura-hura? Bercanda? Tak tahu kemana?
Seorang Hamba dan penghamba sejati akan berkata, “Ibadahku kepada-Nya, sejauh manakah?”
Sang pencari jati diri (serta ilmu) akan berujar, “Buang jauh-jauh yang tak perlu dan kegagalan, kita cari peluang sebanyak mungkin dan mengusahakannya! Wahai diri!”        
Ahli bersyukur akan bergumam, “Oh, Ilahi… Umur ini kian berkurang,  kian hari kian bertambah tua, tahunmu tengah menyeok-nyeok saja dengan cepat, perkenankanlah hamba-Mu ini mensyukuri segala nikmat yang tak terhitung.”

Namun, berbeda dengan sang pionir fi sabilillah, ia akan berjuang senantiasa menjadi segala yang terbaik, menyatukan watak dan tabi’at halus dari segala lini Hamba Allah dengan padu dan teliti. Meski jurang keberhasilan secara pluktuasi kerap dihampirinya, terhambat kerikil pecah yang bersepuh debu, dan asa yang sering naik menghulu dan turun menghilir. Iman tetap terusaha untuk dijaga dan kesucian pangkat Hamba-Nya harus tetap tersematkan indah di hati.
Tak perlu menghamba kepada selainnya, menjauh-menjauh dan menolak.
Sang Pionir Lillah akan berkata pada dirinya, “Aku telah menghampiri sebagian kegagalan, separuh umur pada warsa kemarin. Tak akan kubiarkan kegagalan terus mengintai dan menguntit.”
“Ia (kegagalan) harus kuhadapi dengan asa dan serbuk kekuasaan-Nya.  Tak perlu juga orang disekitarku mengetahui kepahitan ini, yang ada hanya aku yang menjadi sinar.”
Sang pionir lillah tahu, Muharram akan menjadi sebuah pijakan awal untuk menempa dirinya hingga ke garis depan, tak perlu bersama banyak teman untuk memperbaiki dirinya, partikel kecil dirinya adalah teman. Allah pun cukup. Yang lain hanya wasilah keridhaan-Nya.
Sang pionir lillah akan mencoba menggunakan Muharram sebagai batu sandungan awal menghadapi dinamika yang akan dihadapi.
Ia akan mencoba menjadi pengelana yang siap mengantarkan cahaya terang benderang untuk orang di sekitarnya, bukan hanya sebatas menjadi teman yang dilupakan dan melupakan.

“Tak apa,” katanya, “Pengorbanan dalam suatu proses, tak akan membohongiku, ada Dia Yang Maha Mengetahui.”
 فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Maka janganlah kalian menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.”

Ia akan mengingat penggalan ayat suci tersebut, kezhaliman yang tak ada toleransi sangat di larang dalam Muharram. Oleh karena itu, sang pionir lillah akan berusaha tetap adil dan proporsional.
Menjadi Hamba yang beribadah dan mengambil bekal dari hari kemarin hanya untuk-Nya, menjadi insan yang bersyukur atas umur dan nikmat yang tercecap sedap di lidah dan perasaan, serta menjadi pencari jati diri (serta ilmu) yang cakap mengambil segala hal yang halal untuk diperjuangkan dan modal usaha untuk investasi di hari esok. Hanya menempa diri untuk kembali disinarkan kepada sesamanya, lebih dari sekedar teman—meski mereka temannya tak tahu.

Bak matahari yang tak mengharap balasan sinar kehangatan dari para manusia, seperti menjadi angin segar yang tak mengharap ada sumber lain yang menyejukkannya.
Bermodal diri sendiri, untuk mencari ridho-Nya. Nama orang lain hanya untuk diperjuangkan.
Muharram bukan sekedar baru, Muharram bukan sekedar pengharapan semu, Sang Pionir lillah yang cakap akan menggunakan momentum ini sebagai ajang mahabbah dan tempaan kerinduan.[]     

0 komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Oleh: Hadi Ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU dan wakil sekretaris  PC IPNU Purwakarta) Melibatkan kembali para pelajar dan sebaris ...