Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah
oleh: Abdillah ketua UKM Jurnalis STAI Dr Khez Muttaqien
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS. At Taubah : 36).
Y
|
ang paling awal dan harusnya menjadi ajang serta
tempat yang berkesan bagi Hamba Allah, itulah Muharram. Nama yang tak asing
bagi semua Muslim, nama bulan yang sengaja untuk dijadikan pijakan awal dalam tahun
Hijriyyah, agar menempuh hidup baru dengan situasi yang baru pula—kebaikan.
Namun ada hal esensial yang kerap terlupakan, atau entah sengaja dilupakan dengan
seremoni-seremoni belaka tak berujung puas.
Andai semua tahu, andai semua mengerti akan esensi
darinya. Meski memang hanya Dia, Allah Yang Maha Tahu akan segala esensi. Memang
adanya seperti begitu, namun pantaskah kita sebagai makhluk yang katanya paling
sempurna ini tak tahu seremeh apapun dari al-Muharram ini?
Sang pionir Islam Rasulullah
SAW pernah bersabda,
السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو
الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ
جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan
diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu ,
Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al
akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebetulnya
tak perlu melihat kepada dalil di atas pun, kita sudah tahu apa arti Muharram
sendiri secara sepintas. Ya, kata bentukan dari Harrama, Muharramun (objek—maf’ul)
memiliki maknya yang secara telah telah menunjukkan akan kesucian bulan ini.
Dengan adanya
larangan Allah untuk melakukan kezhaliman, kelaliman dan aniaya serta kekejian
lainnya, (QS. At Taubah : 36).
Menghadapi
realita dengan adanya satu-dua dalil di atas saja—mengingat kita sedang hangat
duduk di bulan Muharram ini.—Sudah
seyogianya bagi para “penderita” kontemplasi dan Ulul albab, agar
mengambil ibrah serta bertanya ke dalam diri,
“Apa yang telah
kita lakukan pada hari warsa di belakang sana?” “Apa yang akan kita perbaiki?”
“Apa yang telah kita lakukan, hingga melangkah sejauh ini?”
Hura-hura?
Bercanda? Tak tahu kemana?
Seorang Hamba
dan penghamba sejati akan berkata, “Ibadahku kepada-Nya, sejauh manakah?”
Sang pencari
jati diri (serta ilmu) akan berujar, “Buang jauh-jauh yang tak perlu dan
kegagalan, kita cari peluang sebanyak mungkin dan mengusahakannya! Wahai diri!”
Ahli
bersyukur akan bergumam, “Oh, Ilahi… Umur ini kian berkurang, kian hari kian bertambah tua, tahunmu tengah
menyeok-nyeok saja dengan cepat, perkenankanlah hamba-Mu ini mensyukuri segala
nikmat yang tak terhitung.”
Namun,
berbeda dengan sang pionir fi sabilillah, ia akan berjuang senantiasa menjadi
segala yang terbaik, menyatukan watak dan tabi’at halus dari segala lini Hamba
Allah dengan padu dan teliti. Meski jurang keberhasilan secara pluktuasi kerap
dihampirinya, terhambat kerikil pecah yang bersepuh debu, dan asa yang sering
naik menghulu dan turun menghilir. Iman tetap terusaha untuk dijaga dan kesucian
pangkat Hamba-Nya harus tetap tersematkan indah di hati.
Tak
perlu menghamba kepada selainnya, menjauh-menjauh dan menolak.
Sang
Pionir Lillah akan berkata pada dirinya, “Aku telah menghampiri sebagian kegagalan,
separuh umur pada warsa kemarin. Tak akan kubiarkan kegagalan terus mengintai
dan menguntit.”
“Ia
(kegagalan) harus kuhadapi dengan asa dan serbuk kekuasaan-Nya. Tak perlu juga orang disekitarku mengetahui
kepahitan ini, yang ada hanya aku yang menjadi sinar.”
Sang
pionir lillah tahu, Muharram akan menjadi sebuah pijakan awal untuk menempa
dirinya hingga ke garis depan, tak perlu bersama banyak teman untuk memperbaiki
dirinya, partikel kecil dirinya adalah teman. Allah pun cukup. Yang lain hanya
wasilah keridhaan-Nya.
Sang
pionir lillah akan mencoba menggunakan Muharram sebagai batu sandungan awal
menghadapi dinamika yang akan dihadapi.
Ia
akan mencoba menjadi pengelana yang siap mengantarkan cahaya terang benderang
untuk orang di sekitarnya, bukan hanya sebatas menjadi teman yang dilupakan dan
melupakan.
“Tak
apa,” katanya, “Pengorbanan dalam suatu proses, tak akan membohongiku, ada Dia
Yang Maha Mengetahui.”
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Maka janganlah kalian menganiaya
diri kamu di keempat bulan itu.”
Ia akan mengingat penggalan ayat suci tersebut,
kezhaliman yang tak ada toleransi sangat di larang dalam Muharram. Oleh karena
itu, sang pionir lillah akan berusaha tetap adil dan proporsional.
Menjadi Hamba yang beribadah dan mengambil bekal dari
hari kemarin hanya untuk-Nya, menjadi insan yang bersyukur atas umur dan nikmat
yang tercecap sedap di lidah dan perasaan, serta menjadi pencari jati diri (serta
ilmu) yang cakap mengambil segala hal yang halal untuk diperjuangkan dan modal
usaha untuk investasi di hari esok. Hanya menempa diri untuk kembali disinarkan
kepada sesamanya, lebih dari sekedar teman—meski mereka temannya tak tahu.
Bak matahari yang tak mengharap balasan sinar
kehangatan dari para manusia, seperti menjadi angin segar yang tak mengharap
ada sumber lain yang menyejukkannya.
Bermodal diri sendiri, untuk mencari ridho-Nya. Nama
orang lain hanya untuk diperjuangkan.
Muharram bukan sekedar baru, Muharram bukan sekedar
pengharapan semu, Sang Pionir lillah yang cakap akan menggunakan momentum ini
sebagai ajang mahabbah dan tempaan kerinduan.[]
0 komentar:
Posting Komentar