Komunitas Pena Dan Lensa

hjhh

Contoh Teks Berjalan dari Kiri ke Kanan
Komunitas Pena dan Lensa

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 09 November 2017

Refleksi hari pahlawan



Refleksi hari pahlawan

Oleh : Farhan

Membicarakan tentang hari para pahlawan di Indonesia,  pasti identik dengan hari mengenang para pahlawan yang bertempur di Surabaya pada tanggal 10 november 1945,  dimana para pahlawan menunjukan kecintaanya kepada tanah air dengan ikut serta bertempur dengan  gagah berani melawan penjajah meski di belaki senjata seadanya, dan mereka tak segan segan mengorbankan seluruh harta dan nyawanya demi bangsa dan negara.

Peristiwa itu kenal sebagai pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Dengan adanya peringatan hari pahlawan membuat kita kembali mengenang peristiwa sejarah bangsa kita, dimana betapa kerasnya para pahlawan berjuang agar bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan. Dan juga betapa besar keingianan pergerakan para pahlawan agar bisa merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan yang dimana sudah banyak memakan korban

Akan tetapi, selama ini banyak orang khususnya pemuda yang hanya sebatas memperingati momentum hari pahlawan dengan acara acara simbolik saja. Memang, hal seperti itu tidak salah, akan tetapi  seharusnya di sertakan dengan sebuah keinginan untuk mewujudkan suatu perubahan. Perubahan dalam diri kita pribadi agar dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, agar apa yang pahlawan telah perjuangkan tidaklah sia sia.

Hal seperti ini lah yang seharusnya di realisasikan oleh kita semua,  agar kita para pemuda penerus bangsa dapat ikut berkontribusi untuk negara, karena kita lah yang diharapkan bisa mengisi kemerdekaan yang telah diraih sekaligus berusaha mencapai tujuan baru bangsa indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan dan juga bersatu dalam perbedaan yang menjunjung tinggi musyawarah demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakya Indonesia.

Oleh karena itu kita perlu bertindak agar kita bisa membuat perubahan yang dapat memajukan negara indonesia melalui berbagai ide ide kreatif dan inovasi anak bangsa yang luar biasa untuk mengharumkan nama baik bangsa Indonesia di mata dunia pada masa yang mendatang

Puisi : Dibalik merdeka ada si tua


Oleh : Hadi Ibnu Sabilillah

Dibalik  merdeka ada si tua

Hari ini bangsaku serentak berhenti tidak saling menembak
Hari ini negaraku layak syurga mempunyai segala
Hari ini bendera bendera serentak berkibar dimana mana
Lalu.. aku lupa oleh siapa semua itu ada.

Nyanyian indonesia raya bergema dimana-mana
Pidato pidato kaum politisi terpapar di setiap sudut kota
Pak tuaa, siapa kau sebenarnya
Membuat negaraku khusyuk dan khisruh

aku harus bertanya kepada siapa,?
Selain kepada karya karya tangan sejarahwan  yang melahirkan aksara
Aku harus belajar kepada siapa?
Selain kepada renungan setiap paragraf yang penuh jeda

Sang saka berkibar penuh gelora di samudra udara
Merdeka ini membuatku bingung, siapa yang memperjuangkanya
Melawan penjajah mati bercucuran darah
Mengibarkan bendera tertembak hilang tanpa jejak

Mereka bersorak sorak merdeka, lupa akan jasad pak tua
Pak tua yang kehilangan harta
pak tua yang kehilangan sanak keluarga
bahkan pak tua yang rela kehilangan nyawa

selamat berbahagia di syurga pak tua
indonesia mu kini merdeka
tapi rakyatmu tak mengenal dibalik kemerdekaan itu siapa.
Pak tua maafkan aku, hanya doa balas budi rakyatmu hari ini


Untuk pahlawan Lahul  Alfatihah...
(Purwakarta 17 Agustus 2017)

Minggu, 05 November 2017

Ngobrolin perfilman bareng kang yudi : film berbicara kepekaan dan pesan



Oleh : Hadi Ibnu sabil

Minggu, hari libur yang begitu sakral di kalender pemerintahan republik indonesia dengan di tandai warna merah sebagai hari libur nasional bagi seluruh aktifitas  baik akademisi, perusaan maupun kalangan birokrasi, tapi tidak menjadi hari libur bagi mereka yang bergulung di pasar tradisional, di kalangan pemulung sampah, dikalangan pekerja ojek kendaraan dan lain sebagainya, tapi itu menjadi sesuatu yang biasa  bagi mereka karena dituntut oleh kebutuhan hidup yang harus masing-masing mereka cukupi.

Begitupun otak yang kita miliki tidak pernah libur dalam aktifitas kita setiap hari, yaa meski pada malam hari tidur, namun otak masih bekerja dalam membuat cerita mimpi, otak kita yang setiap detiknya mengakses, memfilter, menggagas, mengontrol, menangkap sesuatu yang tidak pernah merasa cukup untuk dipenuhi, dengan melalui mata menangkap segala gambar dan merekam segala kejadian.

Pada hari ini (Minggu 05/11/2017) aku dan kawan kawan komunitas mengajak kang  yudi untuk menjadi narasumber dalam obrolan obrolan santai pada  program mingguan yang di gagasan oleh temen-temen kopel purwakarta dengan seruan “Ngobrolin Perfilman”, hadir pula kang rezza dan kang piqoy, serasa sangat lengkap dihadiri oleh dua seniman muda ini dengan latar belakang keahlian yang berbeda satu di videography dan satunya lagi di seni rupa hingga  sudut pandangnya masing-masing menambah pariasi obrolan santai kita pada hari ini.

Hal yang rumit ketika kita berbicara tentang perfilman, mendengarkan paparan  kang yudi dalam proses pembuatan sebuah produksi film secara sudut pandang profesional. Yakni Pra produksi,produksi dan pasca produksi menjadi obrolan yang membuat mudah mudah susah dalam membuat sebuah film.  Terlihat dari raut  wajah seorang bagus iriandi yang sangat aktif memproduksi film yang super kritis. Yaaa bagaimana tidak? Memproduksi film bukan hanya sekedar kita merekam segala sesuatu gerakan tubuh saja atau merekan segala suasana yang ada. Bahkan menurut kang rezza “ Gerakan kamerapun harus ada artinya”, haha... semakin menantang saja obrolan ini.

Lagi lagi tentang pesan dan kepekaan, hal yang pertama dalam memproduksi sebuah film adalah ide dan menuangkannya kedalam tulisan yang berbentuk skrip dan di proses dengan melalui editor, rexy, survai kelapangan, unit production dan lain sebagainya, tanyakan saja langsung nanti ke kang yudi, supaya lebih jelas. Menurut saya film menjadi provokator pertama dalam merubah mindset otak/pikiran/karakter manusia , setelah tulisan dan lingkungan. Seperti apa yang dikatakan oleh bagus ketika masyarakat  menonton film “5 cm”, seketika banyak orang yang suka mendaki gunung, lalu ramai  film “Filosofi kopi” seketika banyak orang yang mendadak menjadi pecinta kopi atau barista.

Produksi film bukan hal-hal yang sedemikian gampang, melalui kepekaan lingkungan, sosial, budaya yang hari ini hampir punah, itu bisa melahirkan sebuah ide film, seperti yang dikatakan oleh kang pikoy juga. Anak  kecil hari ini tidak ada yang hafal lagu-lagu tradisional ataupun lagu-lagu kanak-kanak yang dulu populer di kalangan kelahiran 1990 kebawah, kita bisa membuat film dengan adegan adegan yang membantu mengalihkan dunia mereka ke zaman kebiasaan anak-anak kelahiran 90’an kebawah. Yang hari ini memang sangat sulit untuk melepas dari gadget, mau tidak mau kita harus mengikuti arus zaman, tapi sepintarnya kita menggunakan gadget pasti ada rasa penasaran yang tidak akan bisa  terlepas dari menggenggam gadget itu. Ujar kang pikoy

Kang pikoy dalam mimik mukanya yang santai itu melanjutkan obrolannya, itu adalah  isu yang bisa melahirkan ide untuk membuat sebuah film yang mengkritisi. Kang pikoy ini sangat luar  biasa sekali lensa analisa matanya, aku sempat bingun ternyata di indonesia ini masih banyak orang-orang yang peduli akan masa depan  generasi bangsanya, tidak seperti apa yang saya pikirkan tentang segala berita yang ada di televisi. Berita tentang orang-orang yang korupsi, demo, adu politik, radikalisme, FTV, sinetron dan lain sebagainya, sangat merusak mindset generasi Gen Z/Milenial bangsa ini.

Ngomong-nghomong pembahasan perfilman ini sangat melebar kemana-mana. Wajar saja ini baru prolog  supaya merangsang semangat kita dalam membentuk karakter memproduksi sebuah film.

Pernah tidak pembaca menyadari bahwa hari ini masyarakat lebih memilih melihat berita dari gambar yang bergerak?, setelah koran yang sudah kurang dilirik, lalu berita media online yang sangat viral hari-hari ini  namun karena banyak kebohongan/hoax dari berbagai oknum. Masyarakat hari ini lebih memilih berita gambar bergerak, yaaaa sebut saja film pendek, pichture, documenter dan liputan pendek yang memberikan pesan atau kabar berita.



Artinya ini adalah sebuah lirikan sekaligus perubahan  pada masyarakat tentang minat penangkapan suatu gambar yang memberikan pesan. Selain gambar foto yang mengabadikan waktu, ternyata film mempunyai esensi yang sangat mendalam bagi penikmatnya. Karena menghadapi perubahan zaman yang pesat ini kita hanya bisa menyelamatkan masyarakat- genereasi zaman now, melalui karya karya yang mengandung pesan.

pesan kang yudi, jika ingin memproduksi sebuah film jangan lupa perbanyak menonton film, membaca buku, mendengarkan musik dan berintraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar.

Bersambung...


Sabtu, 04 November 2017

Ngobrolin puisi bareng mas farid




Ngobrolin puisi bareng mas farid

Oleh : Hadi Ibnu Sabil


Pada suatu kesempatan dimana orang orang berlibur kesana kemari, karena hari sabtu di purwakarta berbeda dengan hari sabtu di daerah lain. Aku dan teman-teman komuitas berniat ingin mengentahui makna lebih dalam lagi tentang puisi dan makna maknanya.

Farid saat itu bersedia menggantikan sang sastra yang tak bisa menjadi narasumber karena berbenturan dengan kegiatannya. Saya berharap sang sastra yakni kang rudy ariruda (ketua FTBM dan Perintis sanggar sastra purwakarta) bisa mengisi dilain waktu bersama kami, karena ngobrolin puisi yang sudah di awali oleh mas farid ini sangat seru dan membuat banyak pendengar dan pengamat menjadi penasaran yang amat mendalam tentang apa sosok “Puisi” yang sesungguhnya itu.

Dalam tulisan esainya mas farid berkata, Puisi tidak pernah datang dari ruang yang kosong, Dedi Mulaydi suatu ketika sesumbar bahwa  semua hal mengandung puisi, bahkan batin puisi dulu ada daripada bentuk dzohirnya, meski ia terdengar seperti melantur tapi dia ada benarnya,bahwa puisi berangkat dari ruang linggkupkehidupan pencipta dan apresiatornya.

Penyair penyair besar juga memiliki pandangan yang sama, sebut saja Sapardi djoko damono atau Aan mansyur yang mulai mengakrabi puisi melalui perpustakaan dirumah dan sekolahnya (entah sebagai penyai atau Cuma apresiator) benar benar tidak datang dari ruang yang kosong.

Namun mau tidak mau hari ini kita masuk kedalam dunia manusia  Gen Z/milenial yang serba ingin instan dengan segalanya. Saya katakan kalau manusia dulu itu memiliki 3 kalimat perjuangan untuk didapatkan yakni “Harta-Tahta-Wanita” sepertinya manusia manusia gen z ini, yang difasilitasi dengan serba “Net work/ Connecting” semakin saja membuat mereka cerdas dan kreatif. Namun hal demikian menjadi alasan mereka kenapa hari ini mereka lebih tidak suka dengan membaca apalagi sosok “puisi”yang katanyal”lebay”, “alay”,”so puitis” dan terus apalagi???

Hari ini kita  katakan bahwa hidup tanpa gadget dan kuota itu merasa mati, kesepian dan merasa asing. Kalimat Harta Tahta Wanita telah berubah menjadi “Kuota-Kuota-Kuota”. Maka saya harap meski demikian jangan sampai kita terlepas jauh akan segala esensi kalimat yang pernah diucapkan hati analisamu.
Bagaimana bisa kita membaca dan menganalisa sosial kalau seperti itu? Lalu bagaimana nasib sosok “puisi”ini? Apakah puisi pada zaman sekarang hanya menjadi rangkaian kata kata indah? Kalimat kalimat bijak? Sajak sajak tanpa jejak?

Berbeda dengan sosok puisi zaman dulu, seperti zaman tokoh Chairil Anwar dan Ws. Rendra, atau seperti zaman puisi sapardi djoko damono yang sangat indah dalam roman cinta, atau puisi puisi zaman  wiji thukul, soe hok djie, mahbub djunaedi dan gunawan muhammad yang penuh kalimat tentang demonstran pemberontakan sosial. Ini menjadi perihatin ketika orang-orang puisi menjadi sebutan golongan orang-orang alay nan lebay.

Sosok puisi yang kita obrolin saat itu  merujuk kepada sosok puisi harus menjadi spirit dalam bergerak melatih keterampilan berbahasa dan kepekaan, karena berpuisi adalah bagian dari kemasyarakatan.

Jumat, 03 November 2017

Cerpen: Asam Garam


Image result for budi hikmah

Asam Garam

Oleh : Budi Hikmah

Begitu panas berada di sini. Bagai di gurun, sampai mulutku ternganga menahan dahaganya.
Padahal di sini lembab, bahkan berair. Tapi mengapa dahaga ini serasa semakin mengapi-api.
Aneh aku bisa sampai berada di sini. Seperti anehnya aku bisa sampai miskin di tanah air yang
kaya raya ini. Ah, itu hanya kebodohanku sendiri, jangan sampai jadi menyalahkan orang lain.
Sebab mereka itu pandai, tapi saat nanti aku tak miskin, lagi tak usah jauh-jauh menyambung
hidup dengan harus menahan terik di tanah orang.
Pusing saja saat aku hanya sebatas memikirkan, aku harus segera berteriak-teriak ke seantero
jagat. Supaya semesta mampu mengetahui, supaya hati mampu benar-benar merasa, tentang
perasaan ini.
. . . .
"Kamu wedang jahe aku
di muara garam setelah Surabaya
Bercocok tanam mustahil di sana
Hamparannya sudah putih bak parutan awan saja
Saat langit membiru, hamparannya tak lantas demikian
Tetap saja begitu, semoga adat jangan sampai menjerumuskan kita
Sampai meminum es sama dengan bunuh diri
Di sini aku hampir terbakar saja
Sedang sebab aromamu, panas, namun membuat manis kehidupanku." Aku meyuarakan
mantra penawar rindu dalam hatiku.
"Cep, jangan ngelamun aja. Besok teh kita jadi pulang ke Purwakarta. Pak Suryo udah ngasih
izin."
Kuterkejut ditegur Ibu yang datang dari belakang. Akhirnya Si petani garam ini dapat mudik
esok hari. Bersukalah hati.
***
Gejolak rindu di dalam dada lebih dari gelombang ombak di tengah lautan yang sedang
kuseberangi ini. Deburnya menyeruku untuk segera dapat memeluk Ia. Lamunanku bukan
lamunan. Di dalam kapal aku menatap seindah-indah lautan, aku tersenyum seraya berbisik
kepada hati, aku yakin akan segera meminangnya.
Coba saja simak pertanyaan ini. "Cep, apa kamu sudah mengabarkan kepulanganmu ke orang
Desa?"

Apalagi kendalanya apabila restu Ibu telah menyertaiku untuk meminang Ia. Ya, maksud
pertanyaan itu, Ibu mengingatkanku untuk memberikan kabar kepada calon menantunya bahwa
aku, aku dan Ibuku sedang dalam perjalanan pulang dari Madura. Pertanyaan itu, aku yakin, itu
wujud restu Ibuku. Maka seandainya kapal yang mengangkutku ini tak sanggup
mengantarkanku, atau bahkan lamban saja, aku sanggup memilih terjun menyelami lautan
sampai menyeberanginya untuk dapat sampai ke desa, untuk dapat meminangnya.
Setelah aku menjawab pertanyaan Ibuku dengan kata sudah, dan dengan sopan-santun
tentunya, aku menghayati kembali senyumanku. Aku tersenyum mengingat
percakapan-online-ku dengan Raisa saat masih di pelabuhan.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."

***

Mataku menghijau. Dihijaukan perkebunan yang terhampar di tepi sepanjang jalan menuju ke
rumahku. Hijau udara sejuk kuhirup. Melapangkan dada, melegakan nalar, menghempaskan
kesibukan-kesibukan rumit yang menjejal.
Suasana jiwa mendamai, hijau itu menggerus bayang hamparan putih bak parutan awan yang
gersang saat di sana. Kejadian-kejadian itu yang sudah terbayang dalam harapku saat kembali
pulang. Tapi di sini, ternyata kini sudah tak jauh beda dengan di sana.
Aku harus mendamaikan jiwaku sendiri tanpa adanya sambutan hijau yang menyejukkan itu.
Desaku sudah kering kerontang sebagian. Tanah-tanah ramahnya telah berganti menjadi
beton-beton yang angkuh sebagian. Perkebunannya masih ada sebagian, tapi bukan orang
desanya sendiri lagi yang menjadi pemiliknya. Mengapa? Entahlah.
. . . .
Tiba di depan rumah, tuas pintu melambai-lambai memanggilku. Ia tampak ingin lekas
bersalaman denganku, lalu kemudian mempersilahkanku masuk. Kaca-kaca jendela begitu
kompak dengan dinding-bilik rumah, menyambut kedatanganku. Apalagi mereka melihat Ibu
menjinjing buah tangan yang tidak sedikit. Terkesiap melihat ke atas, genteng-genteng
merapatkan barisan untuk tetap membuatku teduh dari terik, aman dari serbuan hujan yang
suatu hari akan datang bersama anugerah-Nya yang Ia bawa turun dari langit.
Betah aku di teras, namun indahnya halaman yang sedang kutatapi begitu pengertian. Ia
menyuruh aku masuk untuk lantas beristirahat saja terlebih dahulu sesampainya di rumah. Kala
jengah merasuki dan merusaki nalar sebab melihat kekacauan di tanah air mata negeri ini,
beruntung aku masih mendapati gubuk kecil dengan kejujuran dan ketulusan di dalamnya yang
memberikan aku serta Ibu sebuah kenyamanan. Setelah kubersujud atas nama keikhlasan, aku
merebah di atas kasur dipan yang pasrah.

***

Baru satu-dua hari di desa, sudah lebih dari satu-dua cerita yang saling tersampaikan oleh aku
dan Ibu kala bersua sanak saudara. Cerita tentang kisah hidup di Madura itu sudah terlalu
mainstream. Sebab setiap tahun semenjak aku dan Ibu bekerja di sana dari Lima tahun lalu,
kisahnya kurang lebih hanya begitu-gitu saja. Dan sanak saudaraku tentu jemu sebenarnya.
Aku ceritakan tentang satu rencana dari kepulanganku di tahun ini. Lantas segenap keluarga
besarku begitu senang menanggapi kabar gembira itu. Dukungan dan doa siap mereka
kerahkan. Betapa bahagianya aku. Hari bersejarah itu tampak akan begitu terkesan manis. Aku
mendapat restu sepenuhnya dari keluarga besarku.
Kedamaian itu benar adanya saat kita dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Sama-sama berbicara dengan rendah hati, dan bersikap sopan-santun tanpa meninggikan diri.
Hal itu yang hanya kudapatkan di sini, yang mematrikan hatiku bahwa tiada lain yang
kurindukan selain dapat berpulang ke desaku, bersua sanak saudara, bercerita tentang
kebaikan bersama keluarga besar. Pelukan hangat kekeluargaan di pedesaan memang hakikat
jati diri bangsa negeri yang berbudi luhur ini.
. . . .
Hari ke hari kulewati tanpa menemui siapapun. Sebab waktu demi waktuku sementara sedang
untuk mempersiapkan hari bahagiaku dengan calon menantu Ibuku. Segala prosedur telah
kuikuti, semua persyaratan telah kulengkapi, rukun-rukunnya telah siap kupenuhi, menuju cinta
yang sejati, terikat janji yang suci.
Sampai di hari ini, dimana segala perasaan menyatu, menggetarkan hati, menyumpal bibir
hingga tak sanggup tuk berucap selain doa dan dzikir. Di hari ini, hari dimana aku harus
menguatkan lahir batinku. Sebab esok pelangi itu akan kupandang dari dekat, akan dapat
kusentuh, sampai mendekapnya akan menjadi sebuah keberkahan. Hari ini, H-1 dari hari
pernikahanku.
Ketika tiba malam hari, tiba-tiba hadir pesan dari Raisa. Seketika aku gugup. Tiba-tiba aku
bangun. Aku terpaksa mati-matian untuk menghadapinya.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu enggak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini memang berbeda. Jika tak sampai
benar-benar gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas
bualanmu. Selamat berbahagia untuk pernikahanmu." pesan Raisa.
Terkesiap aku menyimak pesan itu. Ada apa dengan Raisa tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku
lantas meneleponnya. Pikirku hanya dengan cara itu untuk dapat meluruskan persoalan ini.
Satu-dua kali aku mencoba, Raisa tak menggubris. Saat di upayaku yang ketigakalinya,
kesempatan itu dipastikan hilang sudah. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif....." Raisa
mematikan telepon genggamnya.
Aku dibekukan keadaan. Betapa begitu dinginnya pesan bernada kecaman itu. Aku tak habis
pikir. Tanda tanya besar menyumbat hingga aku tak sanggup memejamkan mata. Aku duduk
merenung di atas kasur dipan yang membisu.
"Tok tok tok.... Ibu masuk ke kamarku.
"Cep, ayo tidur! Jangan dipikirkan menjadi beban, kamu teh butuh beristirahat. Banyak-banyak
berdoa, semoga besok dilancarkan."
Aku tersenyum mengiyakan perkataan Ibu yang mengira aku sedang merenungkan hari esok.
Tutur lembutnya hangat, Ibu mengelus-elus rambutku, mencairkan kembali suasana malam hari
ini. Sebelum beranjak kembali ke kamarnya, Ibu berpesan kepadaku. "Bermalamlah dengan
damai, tenanglah, esok kamu akan meraih kebahagiaanmu."
Tenanglah aku. Terkait pesan dari Raisa, aku serahkan persoalan itu kepada Yang Maha Kuasa.
Sebab sebagaimana mestinya hidup, ialah berserah diri. Atas kebesaran Tuhan, tanda tanya itu
terhempaskan, sampai akhirnya kudapat pejamkan mata.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Ia Salma binti Yahya dengan mas kawin tersebut, tunai!"
Alhamdulillahi robbil ālamin. Kalimat agung itu yang hanya dapat kulafalkan dari segelumat
perasaan yang aku rasakan dari nuansa istimewanya hari ini. Aku tak pernah merasakan
atmosfer ini sebelumnya. Sulit untuk mendeskripsikan semua setelah sah-nya ijab-kabul ini.
Pokoknya aku bahagia, benar-benar bahagia, itu saja.
Doa Pak Penghulu yang diamini segenap hadirin begitu menguatkan jiwaku. Betapa tidak, sebab
setelahnya itu aku dihampiri cahaya masa depan yang cerah, yang dengannya aku akan
mengarungi hidup, aku akan bertanggung jawab atas hidupnya. Ia Salma, wanita yang telah
sekian lama aku memelihara rindu untuknya, kini di hadapanku, mencium tanganku-kukecup
keningnya. Ia Salma istriku, bahagiaku.
Segera aku dan Ia bersinggah di pelaminan, menjadi raja dan ratu seharian, diberkati doa-doa
kebaikan dari semua orang, habis-habisan. Sanak saudaraku berlipat, keluargaku membesar,
betapa bersyukurnya menatap mereka semua menata keakraban. Aku juga melihat Ibu
mendekat dengan mertuaku. Benar-benar keramaian ini kedamaian.
Intermeso dari kesan mulia hari ini, aku berbisik kepada istriku bahwa aku hendak ke belakang.
Ada hajat kecil yang harus dituntaskan.
Istriku tersenyum malu-malu, merasa lucu. Ia hendak menyilakan, hanya ada satu hal menarik
menahan. Perhatianku dan Ia, bahkan mungkin semua hadirin tertuju kepada kurir yang tiba-tiba
datang. Tanpa cela Beliau berlenggang ke hadap pelaminan, tak sungkan-sungkan memberikan
sepucuk surat yang Si pengirimnya mengamanatkan bahwa surat itu mesti sampai langsung
kepada Si mempelai pria, pasangan dari Ia Salma.
Betapa terkagumnya aku jika itu benar demikian. Sungguh mengesankan, betapa mulia niat
seorang itu untuk memenuhi undangan. Sampai-sampai mengirim sesuatu untukku via pos. Ya,
tak ragu lagi, aku merasa surat ini adalah hadiah dari salah satu tamu undanganku.
Sepucuk surat sudah kupegang, Beliau pun melontarkan doa untuk kebaikan pernikahanku.
Setelah bersalaman kupersilahkan Beliau untuk mencicipi hidangan yang telah kami sediakan.
Permaisuriku kembali tersenyum. Tidak mencurigai, Istriku malah merasa lucu atas kisah kurir
yang turut hadir di hari pernikahannya, mengantarkan kado berupa surat untuk suaminya.
Intermeso sudah, Ia membisik, menyilakan barangkali suaminya ini hendak menuntaskan hajat
kecilnya.
Aku tersenyum, aku beranjak ke belakang barang-sesaat. Sampai di sana, tuntas sudah
ketegangan. Aku lega.
Lalu baru kusadari, sepucuk surat itu terbawa ke belakang. Kata lega berbalik kala kumelihat
nama Raisa di depan amplopnya. Aku panik.
Tulisan sarkastis yang juga tertera memaksa aku tak bisa tinggal diam. "dear : pemberi harapan
palsu" yang ditulisnya. Lantas aku keluarkan isi amplopnya untuk kubaca. Supaya aku
mendapatkan jawaban dari sebuah pertanyaan, ada apa dengan kamu, Raisa?
. . . .
Surat untuk Pemberi Harapan Palsu
"Kamu
Membuatku mendengar bisikan kayu kepada api
Tentang apa itu cinta
Kamu
Membuatku mendengar sajak awan kepada hujan
Tentang apa itu cinta
Denganmu aku merasa
meraba sekujur tubuhku
adalah semua tentang cintaku padamu
Rindu aku akut
Kau meracuniku
Sampai aku mati
Sampai kumenjadi abu dan tiada
Nyataku tak sampai bersamamu
Kau racun sebenarnya-benarnya
Melihatmu
Beranikanku bawakan mawar
Mendengarmu
Kuatkanku tanggalkan lelah
Meyentuhmu
Gagahkan gerak tubuhku
Merasukimu
Impian terindahku
Sayang,
Kau racun sebenar-benar racun
Bersamamu hanya sebatas harap yang kau beri
Ilusif
Nyataku tak sampai bersamamu
Untuk apa kerap bercakap denganku di setiap waktu, sampai larut, saat itu, jika sebenarnya kau
sudah mempunyai gadis lain sebagai calon istri
Kau pemberi harapan palsu."
Kacau, benar-benar kacau. Aku tak habis pikir. Aku tak tahu harus bagaimana.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."
Mengingat percakapan terakhirku dengan Raisa.
Saat berada di Madura aku menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan Raisa. Hampir
setiap malam aku bercakap dengannya, sampai larut. Betapa salahnya ternyata aku
membuatnya akut, merindu kepadaku. Yang aku hanya bermaksud sebatas bertukar pesan
sebagai teman biasa, ternyata Raisa menafsirkan lain sampai terbawa perasaan, sampai ia
mengharap aku dapat menjadi teman hidupnya.
Lalu memang setelah kepulanganku dari Madura, aku tak berkomunikasi lagi dengannya. Meski
memang setiap hari Raisa menghubungiku. Tapi aku tak menggubrisnya sebab hari-hariku di
sini teruntuk menatap Ia gadisku, yang aku akan menata masa depan dengannya.
Dari semua itu aku tahu sekarang, tentang pesan Raisa kemarin malam.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu gak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini berbeda. Jika tak sampai benar-benar
gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas bualanmu.
Selamat berbahagia untuk pernikahanmu."
Kacau aku kini, rasanya aku ingin lenyap saja. Rikuh jika di satu sisi aku dalam kebahagiaan
sedang di sisi lain ada seorang dalam penderitaan gara-garaku.
"Tut tut tut....
Teleponku tersambung, tapi..... "Nomor yang Anda tuju tidak bisa menerima panggilan..... Raisa
tak menggubris teleponku. Tak adil rasanya jika persoalan ini tak dapat diluruskan. Dua-Tiga
kali aku meneleponnya, tetap tak digubris. Sebelum keempatkalinya, akhirnya aku mendapati
pesan dari Raisa.
"Sudah jelas semuanya, aku dan kamu sudah berbeda sekarang. Tenang, deritaku berbeda
dengan bahagiamu. Di sini penderitaanku akan segera sirna, di sana kebahagiaanmu sempurna.
Mendamailah di sana dengan Ia, aku baik-baik saja dan berhati-hati di sini. Jika tanpa balasan
pesan darimu."
Pesan Raisa memungkas semua persoalan dengan amat jelas. Aku tak diharapkan lagi hadir di
hidupnya. Aku hanya bisa menundukkan kepala seraya memohon maaf kepada Raisa,
memohon kepada angin malam untuk membisikkan maafku itu kepadanya nanti, saat ia hendak
tidur, beristirahat, mengistirahatkan kenangan yang telah terukir.
Maafkan Si pembual ini. Aku tahu harus bagaimana sekarang, berhati-hatilah hati.

Entri yang Diunggulkan

Oleh: Hadi Ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU dan wakil sekretaris  PC IPNU Purwakarta) Melibatkan kembali para pelajar dan sebaris ...