Jumat, 03 November 2017
Home »
» Cerpen: Asam Garam
Cerpen: Asam Garam
Asam Garam
Oleh : Budi Hikmah
Begitu panas berada di sini. Bagai di gurun, sampai mulutku ternganga menahan dahaganya.
Padahal di sini lembab, bahkan berair. Tapi mengapa dahaga ini serasa semakin mengapi-api.
Aneh aku bisa sampai berada di sini. Seperti anehnya aku bisa sampai miskin di tanah air yang
kaya raya ini. Ah, itu hanya kebodohanku sendiri, jangan sampai jadi menyalahkan orang lain.
Sebab mereka itu pandai, tapi saat nanti aku tak miskin, lagi tak usah jauh-jauh menyambung
hidup dengan harus menahan terik di tanah orang.
Pusing saja saat aku hanya sebatas memikirkan, aku harus segera berteriak-teriak ke seantero
jagat. Supaya semesta mampu mengetahui, supaya hati mampu benar-benar merasa, tentang
perasaan ini.
. . . .
"Kamu wedang jahe aku
di muara garam setelah Surabaya
Bercocok tanam mustahil di sana
Hamparannya sudah putih bak parutan awan saja
Saat langit membiru, hamparannya tak lantas demikian
Tetap saja begitu, semoga adat jangan sampai menjerumuskan kita
Sampai meminum es sama dengan bunuh diri
Di sini aku hampir terbakar saja
Sedang sebab aromamu, panas, namun membuat manis kehidupanku." Aku meyuarakan
mantra penawar rindu dalam hatiku.
"Cep, jangan ngelamun aja. Besok teh kita jadi pulang ke Purwakarta. Pak Suryo udah ngasih
izin."
Kuterkejut ditegur Ibu yang datang dari belakang. Akhirnya Si petani garam ini dapat mudik
esok hari. Bersukalah hati.
***
Gejolak rindu di dalam dada lebih dari gelombang ombak di tengah lautan yang sedang
kuseberangi ini. Deburnya menyeruku untuk segera dapat memeluk Ia. Lamunanku bukan
lamunan. Di dalam kapal aku menatap seindah-indah lautan, aku tersenyum seraya berbisik
kepada hati, aku yakin akan segera meminangnya.
Coba saja simak pertanyaan ini. "Cep, apa kamu sudah mengabarkan kepulanganmu ke orang
Desa?"
Apalagi kendalanya apabila restu Ibu telah menyertaiku untuk meminang Ia. Ya, maksud
pertanyaan itu, Ibu mengingatkanku untuk memberikan kabar kepada calon menantunya bahwa
aku, aku dan Ibuku sedang dalam perjalanan pulang dari Madura. Pertanyaan itu, aku yakin, itu
wujud restu Ibuku. Maka seandainya kapal yang mengangkutku ini tak sanggup
mengantarkanku, atau bahkan lamban saja, aku sanggup memilih terjun menyelami lautan
sampai menyeberanginya untuk dapat sampai ke desa, untuk dapat meminangnya.
Setelah aku menjawab pertanyaan Ibuku dengan kata sudah, dan dengan sopan-santun
tentunya, aku menghayati kembali senyumanku. Aku tersenyum mengingat
percakapan-online-ku dengan Raisa saat masih di pelabuhan.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."
***
Mataku menghijau. Dihijaukan perkebunan yang terhampar di tepi sepanjang jalan menuju ke
rumahku. Hijau udara sejuk kuhirup. Melapangkan dada, melegakan nalar, menghempaskan
kesibukan-kesibukan rumit yang menjejal.
Suasana jiwa mendamai, hijau itu menggerus bayang hamparan putih bak parutan awan yang
gersang saat di sana. Kejadian-kejadian itu yang sudah terbayang dalam harapku saat kembali
pulang. Tapi di sini, ternyata kini sudah tak jauh beda dengan di sana.
Aku harus mendamaikan jiwaku sendiri tanpa adanya sambutan hijau yang menyejukkan itu.
Desaku sudah kering kerontang sebagian. Tanah-tanah ramahnya telah berganti menjadi
beton-beton yang angkuh sebagian. Perkebunannya masih ada sebagian, tapi bukan orang
desanya sendiri lagi yang menjadi pemiliknya. Mengapa? Entahlah.
. . . .
Tiba di depan rumah, tuas pintu melambai-lambai memanggilku. Ia tampak ingin lekas
bersalaman denganku, lalu kemudian mempersilahkanku masuk. Kaca-kaca jendela begitu
kompak dengan dinding-bilik rumah, menyambut kedatanganku. Apalagi mereka melihat Ibu
menjinjing buah tangan yang tidak sedikit. Terkesiap melihat ke atas, genteng-genteng
merapatkan barisan untuk tetap membuatku teduh dari terik, aman dari serbuan hujan yang
suatu hari akan datang bersama anugerah-Nya yang Ia bawa turun dari langit.
Betah aku di teras, namun indahnya halaman yang sedang kutatapi begitu pengertian. Ia
menyuruh aku masuk untuk lantas beristirahat saja terlebih dahulu sesampainya di rumah. Kala
jengah merasuki dan merusaki nalar sebab melihat kekacauan di tanah air mata negeri ini,
beruntung aku masih mendapati gubuk kecil dengan kejujuran dan ketulusan di dalamnya yang
memberikan aku serta Ibu sebuah kenyamanan. Setelah kubersujud atas nama keikhlasan, aku
merebah di atas kasur dipan yang pasrah.
***
Baru satu-dua hari di desa, sudah lebih dari satu-dua cerita yang saling tersampaikan oleh aku
dan Ibu kala bersua sanak saudara. Cerita tentang kisah hidup di Madura itu sudah terlalu
mainstream. Sebab setiap tahun semenjak aku dan Ibu bekerja di sana dari Lima tahun lalu,
kisahnya kurang lebih hanya begitu-gitu saja. Dan sanak saudaraku tentu jemu sebenarnya.
Aku ceritakan tentang satu rencana dari kepulanganku di tahun ini. Lantas segenap keluarga
besarku begitu senang menanggapi kabar gembira itu. Dukungan dan doa siap mereka
kerahkan. Betapa bahagianya aku. Hari bersejarah itu tampak akan begitu terkesan manis. Aku
mendapat restu sepenuhnya dari keluarga besarku.
Kedamaian itu benar adanya saat kita dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Sama-sama berbicara dengan rendah hati, dan bersikap sopan-santun tanpa meninggikan diri.
Hal itu yang hanya kudapatkan di sini, yang mematrikan hatiku bahwa tiada lain yang
kurindukan selain dapat berpulang ke desaku, bersua sanak saudara, bercerita tentang
kebaikan bersama keluarga besar. Pelukan hangat kekeluargaan di pedesaan memang hakikat
jati diri bangsa negeri yang berbudi luhur ini.
. . . .
Hari ke hari kulewati tanpa menemui siapapun. Sebab waktu demi waktuku sementara sedang
untuk mempersiapkan hari bahagiaku dengan calon menantu Ibuku. Segala prosedur telah
kuikuti, semua persyaratan telah kulengkapi, rukun-rukunnya telah siap kupenuhi, menuju cinta
yang sejati, terikat janji yang suci.
Sampai di hari ini, dimana segala perasaan menyatu, menggetarkan hati, menyumpal bibir
hingga tak sanggup tuk berucap selain doa dan dzikir. Di hari ini, hari dimana aku harus
menguatkan lahir batinku. Sebab esok pelangi itu akan kupandang dari dekat, akan dapat
kusentuh, sampai mendekapnya akan menjadi sebuah keberkahan. Hari ini, H-1 dari hari
pernikahanku.
Ketika tiba malam hari, tiba-tiba hadir pesan dari Raisa. Seketika aku gugup. Tiba-tiba aku
bangun. Aku terpaksa mati-matian untuk menghadapinya.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu enggak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini memang berbeda. Jika tak sampai
benar-benar gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas
bualanmu. Selamat berbahagia untuk pernikahanmu." pesan Raisa.
Terkesiap aku menyimak pesan itu. Ada apa dengan Raisa tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku
lantas meneleponnya. Pikirku hanya dengan cara itu untuk dapat meluruskan persoalan ini.
Satu-dua kali aku mencoba, Raisa tak menggubris. Saat di upayaku yang ketigakalinya,
kesempatan itu dipastikan hilang sudah. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif....." Raisa
mematikan telepon genggamnya.
Aku dibekukan keadaan. Betapa begitu dinginnya pesan bernada kecaman itu. Aku tak habis
pikir. Tanda tanya besar menyumbat hingga aku tak sanggup memejamkan mata. Aku duduk
merenung di atas kasur dipan yang membisu.
"Tok tok tok.... Ibu masuk ke kamarku.
"Cep, ayo tidur! Jangan dipikirkan menjadi beban, kamu teh butuh beristirahat. Banyak-banyak
berdoa, semoga besok dilancarkan."
Aku tersenyum mengiyakan perkataan Ibu yang mengira aku sedang merenungkan hari esok.
Tutur lembutnya hangat, Ibu mengelus-elus rambutku, mencairkan kembali suasana malam hari
ini. Sebelum beranjak kembali ke kamarnya, Ibu berpesan kepadaku. "Bermalamlah dengan
damai, tenanglah, esok kamu akan meraih kebahagiaanmu."
Tenanglah aku. Terkait pesan dari Raisa, aku serahkan persoalan itu kepada Yang Maha Kuasa.
Sebab sebagaimana mestinya hidup, ialah berserah diri. Atas kebesaran Tuhan, tanda tanya itu
terhempaskan, sampai akhirnya kudapat pejamkan mata.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Ia Salma binti Yahya dengan mas kawin tersebut, tunai!"
Alhamdulillahi robbil Älamin. Kalimat agung itu yang hanya dapat kulafalkan dari segelumat
perasaan yang aku rasakan dari nuansa istimewanya hari ini. Aku tak pernah merasakan
atmosfer ini sebelumnya. Sulit untuk mendeskripsikan semua setelah sah-nya ijab-kabul ini.
Pokoknya aku bahagia, benar-benar bahagia, itu saja.
Doa Pak Penghulu yang diamini segenap hadirin begitu menguatkan jiwaku. Betapa tidak, sebab
setelahnya itu aku dihampiri cahaya masa depan yang cerah, yang dengannya aku akan
mengarungi hidup, aku akan bertanggung jawab atas hidupnya. Ia Salma, wanita yang telah
sekian lama aku memelihara rindu untuknya, kini di hadapanku, mencium tanganku-kukecup
keningnya. Ia Salma istriku, bahagiaku.
Segera aku dan Ia bersinggah di pelaminan, menjadi raja dan ratu seharian, diberkati doa-doa
kebaikan dari semua orang, habis-habisan. Sanak saudaraku berlipat, keluargaku membesar,
betapa bersyukurnya menatap mereka semua menata keakraban. Aku juga melihat Ibu
mendekat dengan mertuaku. Benar-benar keramaian ini kedamaian.
Intermeso dari kesan mulia hari ini, aku berbisik kepada istriku bahwa aku hendak ke belakang.
Ada hajat kecil yang harus dituntaskan.
Istriku tersenyum malu-malu, merasa lucu. Ia hendak menyilakan, hanya ada satu hal menarik
menahan. Perhatianku dan Ia, bahkan mungkin semua hadirin tertuju kepada kurir yang tiba-tiba
datang. Tanpa cela Beliau berlenggang ke hadap pelaminan, tak sungkan-sungkan memberikan
sepucuk surat yang Si pengirimnya mengamanatkan bahwa surat itu mesti sampai langsung
kepada Si mempelai pria, pasangan dari Ia Salma.
Betapa terkagumnya aku jika itu benar demikian. Sungguh mengesankan, betapa mulia niat
seorang itu untuk memenuhi undangan. Sampai-sampai mengirim sesuatu untukku via pos. Ya,
tak ragu lagi, aku merasa surat ini adalah hadiah dari salah satu tamu undanganku.
Sepucuk surat sudah kupegang, Beliau pun melontarkan doa untuk kebaikan pernikahanku.
Setelah bersalaman kupersilahkan Beliau untuk mencicipi hidangan yang telah kami sediakan.
Permaisuriku kembali tersenyum. Tidak mencurigai, Istriku malah merasa lucu atas kisah kurir
yang turut hadir di hari pernikahannya, mengantarkan kado berupa surat untuk suaminya.
Intermeso sudah, Ia membisik, menyilakan barangkali suaminya ini hendak menuntaskan hajat
kecilnya.
Aku tersenyum, aku beranjak ke belakang barang-sesaat. Sampai di sana, tuntas sudah
ketegangan. Aku lega.
Lalu baru kusadari, sepucuk surat itu terbawa ke belakang. Kata lega berbalik kala kumelihat
nama Raisa di depan amplopnya. Aku panik.
Tulisan sarkastis yang juga tertera memaksa aku tak bisa tinggal diam. "dear : pemberi harapan
palsu" yang ditulisnya. Lantas aku keluarkan isi amplopnya untuk kubaca. Supaya aku
mendapatkan jawaban dari sebuah pertanyaan, ada apa dengan kamu, Raisa?
. . . .
Surat untuk Pemberi Harapan Palsu
"Kamu
Membuatku mendengar bisikan kayu kepada api
Tentang apa itu cinta
Kamu
Membuatku mendengar sajak awan kepada hujan
Tentang apa itu cinta
Denganmu aku merasa
meraba sekujur tubuhku
adalah semua tentang cintaku padamu
Rindu aku akut
Kau meracuniku
Sampai aku mati
Sampai kumenjadi abu dan tiada
Nyataku tak sampai bersamamu
Kau racun sebenarnya-benarnya
Melihatmu
Beranikanku bawakan mawar
Mendengarmu
Kuatkanku tanggalkan lelah
Meyentuhmu
Gagahkan gerak tubuhku
Merasukimu
Impian terindahku
Sayang,
Kau racun sebenar-benar racun
Bersamamu hanya sebatas harap yang kau beri
Ilusif
Nyataku tak sampai bersamamu
Untuk apa kerap bercakap denganku di setiap waktu, sampai larut, saat itu, jika sebenarnya kau
sudah mempunyai gadis lain sebagai calon istri
Kau pemberi harapan palsu."
Kacau, benar-benar kacau. Aku tak habis pikir. Aku tak tahu harus bagaimana.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."
Mengingat percakapan terakhirku dengan Raisa.
Saat berada di Madura aku menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan Raisa. Hampir
setiap malam aku bercakap dengannya, sampai larut. Betapa salahnya ternyata aku
membuatnya akut, merindu kepadaku. Yang aku hanya bermaksud sebatas bertukar pesan
sebagai teman biasa, ternyata Raisa menafsirkan lain sampai terbawa perasaan, sampai ia
mengharap aku dapat menjadi teman hidupnya.
Lalu memang setelah kepulanganku dari Madura, aku tak berkomunikasi lagi dengannya. Meski
memang setiap hari Raisa menghubungiku. Tapi aku tak menggubrisnya sebab hari-hariku di
sini teruntuk menatap Ia gadisku, yang aku akan menata masa depan dengannya.
Dari semua itu aku tahu sekarang, tentang pesan Raisa kemarin malam.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu gak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini berbeda. Jika tak sampai benar-benar
gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas bualanmu.
Selamat berbahagia untuk pernikahanmu."
Kacau aku kini, rasanya aku ingin lenyap saja. Rikuh jika di satu sisi aku dalam kebahagiaan
sedang di sisi lain ada seorang dalam penderitaan gara-garaku.
"Tut tut tut....
Teleponku tersambung, tapi..... "Nomor yang Anda tuju tidak bisa menerima panggilan..... Raisa
tak menggubris teleponku. Tak adil rasanya jika persoalan ini tak dapat diluruskan. Dua-Tiga
kali aku meneleponnya, tetap tak digubris. Sebelum keempatkalinya, akhirnya aku mendapati
pesan dari Raisa.
"Sudah jelas semuanya, aku dan kamu sudah berbeda sekarang. Tenang, deritaku berbeda
dengan bahagiamu. Di sini penderitaanku akan segera sirna, di sana kebahagiaanmu sempurna.
Mendamailah di sana dengan Ia, aku baik-baik saja dan berhati-hati di sini. Jika tanpa balasan
pesan darimu."
Pesan Raisa memungkas semua persoalan dengan amat jelas. Aku tak diharapkan lagi hadir di
hidupnya. Aku hanya bisa menundukkan kepala seraya memohon maaf kepada Raisa,
memohon kepada angin malam untuk membisikkan maafku itu kepadanya nanti, saat ia hendak
tidur, beristirahat, mengistirahatkan kenangan yang telah terukir.
Maafkan Si pembual ini. Aku tahu harus bagaimana sekarang, berhati-hatilah hati.
Entri yang Diunggulkan
Oleh: Hadi Ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU dan wakil sekretaris PC IPNU Purwakarta) Melibatkan kembali para pelajar dan sebaris ...
0 komentar:
Posting Komentar