Komunitas Pena Dan Lensa

hjhh

Contoh Teks Berjalan dari Kiri ke Kanan
Komunitas Pena dan Lensa

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 01 Desember 2017

Video "Ruang Sendiri" untuk peringati World Aids Day Purwakarta 2017, tonton disini



JURNAL|KOPELURWAKARTA - Peringati World Aids Day, Sineas muda di purwakarta berikan pesan melalui video pendek tentang Aids/Hiv.
Bagus Iriandi koordinator videography komunitas pena dan lensa (KOPEL) Purwakarta, selaku Director video ini menjelaskan.

Video yang kami beri tema "Ruang Sendiri" ini menyampaikan pesan visual kepada penonton bahwa, Ketika tidak ada tempat bagi mereka (yang mempunyai penyakit AIDS/HIV) untuk berbagi kesah,  ketika tidak ada rangkulan untuk berbagi beban,  mereka hanya bisa pasrah dalam habisnya putus asa. Ujarnya Bagus Jumat (02/12/2017).

Namun, lanjut bagus yang juga mantan ketua UKM Polaroid, Dia akhirnya mendapatkan dukungan dari teman temannya,  karena teman-temannya  mengetahui penyakit yang dia miliki.

"Pesan yang paling inti dari video ini bahwa yang harus di jauhi adalah penyakitnya,  bukan orangnya", tutur bagus.

Diketahui video ini menjadi pemenang pertama dalam lomba video yang di gelar oleh HFN Indonesia.

Proudly present,  Ruang sendiri,  video pendek untuk memperingati world aids day purwakarta

Director : Bagus Iriandi
Cast : herlyn putri
Crew : abdul azis alayyubi, ikhsanmm, irfan,amin nudin.


Laporan : Hadi Ibnu Sabil

Kamis, 09 November 2017

Refleksi hari pahlawan



Refleksi hari pahlawan

Oleh : Farhan

Membicarakan tentang hari para pahlawan di Indonesia,  pasti identik dengan hari mengenang para pahlawan yang bertempur di Surabaya pada tanggal 10 november 1945,  dimana para pahlawan menunjukan kecintaanya kepada tanah air dengan ikut serta bertempur dengan  gagah berani melawan penjajah meski di belaki senjata seadanya, dan mereka tak segan segan mengorbankan seluruh harta dan nyawanya demi bangsa dan negara.

Peristiwa itu kenal sebagai pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Dengan adanya peringatan hari pahlawan membuat kita kembali mengenang peristiwa sejarah bangsa kita, dimana betapa kerasnya para pahlawan berjuang agar bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan. Dan juga betapa besar keingianan pergerakan para pahlawan agar bisa merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan yang dimana sudah banyak memakan korban

Akan tetapi, selama ini banyak orang khususnya pemuda yang hanya sebatas memperingati momentum hari pahlawan dengan acara acara simbolik saja. Memang, hal seperti itu tidak salah, akan tetapi  seharusnya di sertakan dengan sebuah keinginan untuk mewujudkan suatu perubahan. Perubahan dalam diri kita pribadi agar dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, agar apa yang pahlawan telah perjuangkan tidaklah sia sia.

Hal seperti ini lah yang seharusnya di realisasikan oleh kita semua,  agar kita para pemuda penerus bangsa dapat ikut berkontribusi untuk negara, karena kita lah yang diharapkan bisa mengisi kemerdekaan yang telah diraih sekaligus berusaha mencapai tujuan baru bangsa indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan dan juga bersatu dalam perbedaan yang menjunjung tinggi musyawarah demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakya Indonesia.

Oleh karena itu kita perlu bertindak agar kita bisa membuat perubahan yang dapat memajukan negara indonesia melalui berbagai ide ide kreatif dan inovasi anak bangsa yang luar biasa untuk mengharumkan nama baik bangsa Indonesia di mata dunia pada masa yang mendatang

Puisi : Dibalik merdeka ada si tua


Oleh : Hadi Ibnu Sabilillah

Dibalik  merdeka ada si tua

Hari ini bangsaku serentak berhenti tidak saling menembak
Hari ini negaraku layak syurga mempunyai segala
Hari ini bendera bendera serentak berkibar dimana mana
Lalu.. aku lupa oleh siapa semua itu ada.

Nyanyian indonesia raya bergema dimana-mana
Pidato pidato kaum politisi terpapar di setiap sudut kota
Pak tuaa, siapa kau sebenarnya
Membuat negaraku khusyuk dan khisruh

aku harus bertanya kepada siapa,?
Selain kepada karya karya tangan sejarahwan  yang melahirkan aksara
Aku harus belajar kepada siapa?
Selain kepada renungan setiap paragraf yang penuh jeda

Sang saka berkibar penuh gelora di samudra udara
Merdeka ini membuatku bingung, siapa yang memperjuangkanya
Melawan penjajah mati bercucuran darah
Mengibarkan bendera tertembak hilang tanpa jejak

Mereka bersorak sorak merdeka, lupa akan jasad pak tua
Pak tua yang kehilangan harta
pak tua yang kehilangan sanak keluarga
bahkan pak tua yang rela kehilangan nyawa

selamat berbahagia di syurga pak tua
indonesia mu kini merdeka
tapi rakyatmu tak mengenal dibalik kemerdekaan itu siapa.
Pak tua maafkan aku, hanya doa balas budi rakyatmu hari ini


Untuk pahlawan Lahul  Alfatihah...
(Purwakarta 17 Agustus 2017)

Minggu, 05 November 2017

Ngobrolin perfilman bareng kang yudi : film berbicara kepekaan dan pesan



Oleh : Hadi Ibnu sabil

Minggu, hari libur yang begitu sakral di kalender pemerintahan republik indonesia dengan di tandai warna merah sebagai hari libur nasional bagi seluruh aktifitas  baik akademisi, perusaan maupun kalangan birokrasi, tapi tidak menjadi hari libur bagi mereka yang bergulung di pasar tradisional, di kalangan pemulung sampah, dikalangan pekerja ojek kendaraan dan lain sebagainya, tapi itu menjadi sesuatu yang biasa  bagi mereka karena dituntut oleh kebutuhan hidup yang harus masing-masing mereka cukupi.

Begitupun otak yang kita miliki tidak pernah libur dalam aktifitas kita setiap hari, yaa meski pada malam hari tidur, namun otak masih bekerja dalam membuat cerita mimpi, otak kita yang setiap detiknya mengakses, memfilter, menggagas, mengontrol, menangkap sesuatu yang tidak pernah merasa cukup untuk dipenuhi, dengan melalui mata menangkap segala gambar dan merekam segala kejadian.

Pada hari ini (Minggu 05/11/2017) aku dan kawan kawan komunitas mengajak kang  yudi untuk menjadi narasumber dalam obrolan obrolan santai pada  program mingguan yang di gagasan oleh temen-temen kopel purwakarta dengan seruan “Ngobrolin Perfilman”, hadir pula kang rezza dan kang piqoy, serasa sangat lengkap dihadiri oleh dua seniman muda ini dengan latar belakang keahlian yang berbeda satu di videography dan satunya lagi di seni rupa hingga  sudut pandangnya masing-masing menambah pariasi obrolan santai kita pada hari ini.

Hal yang rumit ketika kita berbicara tentang perfilman, mendengarkan paparan  kang yudi dalam proses pembuatan sebuah produksi film secara sudut pandang profesional. Yakni Pra produksi,produksi dan pasca produksi menjadi obrolan yang membuat mudah mudah susah dalam membuat sebuah film.  Terlihat dari raut  wajah seorang bagus iriandi yang sangat aktif memproduksi film yang super kritis. Yaaa bagaimana tidak? Memproduksi film bukan hanya sekedar kita merekam segala sesuatu gerakan tubuh saja atau merekan segala suasana yang ada. Bahkan menurut kang rezza “ Gerakan kamerapun harus ada artinya”, haha... semakin menantang saja obrolan ini.

Lagi lagi tentang pesan dan kepekaan, hal yang pertama dalam memproduksi sebuah film adalah ide dan menuangkannya kedalam tulisan yang berbentuk skrip dan di proses dengan melalui editor, rexy, survai kelapangan, unit production dan lain sebagainya, tanyakan saja langsung nanti ke kang yudi, supaya lebih jelas. Menurut saya film menjadi provokator pertama dalam merubah mindset otak/pikiran/karakter manusia , setelah tulisan dan lingkungan. Seperti apa yang dikatakan oleh bagus ketika masyarakat  menonton film “5 cm”, seketika banyak orang yang suka mendaki gunung, lalu ramai  film “Filosofi kopi” seketika banyak orang yang mendadak menjadi pecinta kopi atau barista.

Produksi film bukan hal-hal yang sedemikian gampang, melalui kepekaan lingkungan, sosial, budaya yang hari ini hampir punah, itu bisa melahirkan sebuah ide film, seperti yang dikatakan oleh kang pikoy juga. Anak  kecil hari ini tidak ada yang hafal lagu-lagu tradisional ataupun lagu-lagu kanak-kanak yang dulu populer di kalangan kelahiran 1990 kebawah, kita bisa membuat film dengan adegan adegan yang membantu mengalihkan dunia mereka ke zaman kebiasaan anak-anak kelahiran 90’an kebawah. Yang hari ini memang sangat sulit untuk melepas dari gadget, mau tidak mau kita harus mengikuti arus zaman, tapi sepintarnya kita menggunakan gadget pasti ada rasa penasaran yang tidak akan bisa  terlepas dari menggenggam gadget itu. Ujar kang pikoy

Kang pikoy dalam mimik mukanya yang santai itu melanjutkan obrolannya, itu adalah  isu yang bisa melahirkan ide untuk membuat sebuah film yang mengkritisi. Kang pikoy ini sangat luar  biasa sekali lensa analisa matanya, aku sempat bingun ternyata di indonesia ini masih banyak orang-orang yang peduli akan masa depan  generasi bangsanya, tidak seperti apa yang saya pikirkan tentang segala berita yang ada di televisi. Berita tentang orang-orang yang korupsi, demo, adu politik, radikalisme, FTV, sinetron dan lain sebagainya, sangat merusak mindset generasi Gen Z/Milenial bangsa ini.

Ngomong-nghomong pembahasan perfilman ini sangat melebar kemana-mana. Wajar saja ini baru prolog  supaya merangsang semangat kita dalam membentuk karakter memproduksi sebuah film.

Pernah tidak pembaca menyadari bahwa hari ini masyarakat lebih memilih melihat berita dari gambar yang bergerak?, setelah koran yang sudah kurang dilirik, lalu berita media online yang sangat viral hari-hari ini  namun karena banyak kebohongan/hoax dari berbagai oknum. Masyarakat hari ini lebih memilih berita gambar bergerak, yaaaa sebut saja film pendek, pichture, documenter dan liputan pendek yang memberikan pesan atau kabar berita.



Artinya ini adalah sebuah lirikan sekaligus perubahan  pada masyarakat tentang minat penangkapan suatu gambar yang memberikan pesan. Selain gambar foto yang mengabadikan waktu, ternyata film mempunyai esensi yang sangat mendalam bagi penikmatnya. Karena menghadapi perubahan zaman yang pesat ini kita hanya bisa menyelamatkan masyarakat- genereasi zaman now, melalui karya karya yang mengandung pesan.

pesan kang yudi, jika ingin memproduksi sebuah film jangan lupa perbanyak menonton film, membaca buku, mendengarkan musik dan berintraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar.

Bersambung...


Sabtu, 04 November 2017

Ngobrolin puisi bareng mas farid




Ngobrolin puisi bareng mas farid

Oleh : Hadi Ibnu Sabil


Pada suatu kesempatan dimana orang orang berlibur kesana kemari, karena hari sabtu di purwakarta berbeda dengan hari sabtu di daerah lain. Aku dan teman-teman komuitas berniat ingin mengentahui makna lebih dalam lagi tentang puisi dan makna maknanya.

Farid saat itu bersedia menggantikan sang sastra yang tak bisa menjadi narasumber karena berbenturan dengan kegiatannya. Saya berharap sang sastra yakni kang rudy ariruda (ketua FTBM dan Perintis sanggar sastra purwakarta) bisa mengisi dilain waktu bersama kami, karena ngobrolin puisi yang sudah di awali oleh mas farid ini sangat seru dan membuat banyak pendengar dan pengamat menjadi penasaran yang amat mendalam tentang apa sosok “Puisi” yang sesungguhnya itu.

Dalam tulisan esainya mas farid berkata, Puisi tidak pernah datang dari ruang yang kosong, Dedi Mulaydi suatu ketika sesumbar bahwa  semua hal mengandung puisi, bahkan batin puisi dulu ada daripada bentuk dzohirnya, meski ia terdengar seperti melantur tapi dia ada benarnya,bahwa puisi berangkat dari ruang linggkupkehidupan pencipta dan apresiatornya.

Penyair penyair besar juga memiliki pandangan yang sama, sebut saja Sapardi djoko damono atau Aan mansyur yang mulai mengakrabi puisi melalui perpustakaan dirumah dan sekolahnya (entah sebagai penyai atau Cuma apresiator) benar benar tidak datang dari ruang yang kosong.

Namun mau tidak mau hari ini kita masuk kedalam dunia manusia  Gen Z/milenial yang serba ingin instan dengan segalanya. Saya katakan kalau manusia dulu itu memiliki 3 kalimat perjuangan untuk didapatkan yakni “Harta-Tahta-Wanita” sepertinya manusia manusia gen z ini, yang difasilitasi dengan serba “Net work/ Connecting” semakin saja membuat mereka cerdas dan kreatif. Namun hal demikian menjadi alasan mereka kenapa hari ini mereka lebih tidak suka dengan membaca apalagi sosok “puisi”yang katanyal”lebay”, “alay”,”so puitis” dan terus apalagi???

Hari ini kita  katakan bahwa hidup tanpa gadget dan kuota itu merasa mati, kesepian dan merasa asing. Kalimat Harta Tahta Wanita telah berubah menjadi “Kuota-Kuota-Kuota”. Maka saya harap meski demikian jangan sampai kita terlepas jauh akan segala esensi kalimat yang pernah diucapkan hati analisamu.
Bagaimana bisa kita membaca dan menganalisa sosial kalau seperti itu? Lalu bagaimana nasib sosok “puisi”ini? Apakah puisi pada zaman sekarang hanya menjadi rangkaian kata kata indah? Kalimat kalimat bijak? Sajak sajak tanpa jejak?

Berbeda dengan sosok puisi zaman dulu, seperti zaman tokoh Chairil Anwar dan Ws. Rendra, atau seperti zaman puisi sapardi djoko damono yang sangat indah dalam roman cinta, atau puisi puisi zaman  wiji thukul, soe hok djie, mahbub djunaedi dan gunawan muhammad yang penuh kalimat tentang demonstran pemberontakan sosial. Ini menjadi perihatin ketika orang-orang puisi menjadi sebutan golongan orang-orang alay nan lebay.

Sosok puisi yang kita obrolin saat itu  merujuk kepada sosok puisi harus menjadi spirit dalam bergerak melatih keterampilan berbahasa dan kepekaan, karena berpuisi adalah bagian dari kemasyarakatan.

Jumat, 03 November 2017

Cerpen: Asam Garam


Image result for budi hikmah

Asam Garam

Oleh : Budi Hikmah

Begitu panas berada di sini. Bagai di gurun, sampai mulutku ternganga menahan dahaganya.
Padahal di sini lembab, bahkan berair. Tapi mengapa dahaga ini serasa semakin mengapi-api.
Aneh aku bisa sampai berada di sini. Seperti anehnya aku bisa sampai miskin di tanah air yang
kaya raya ini. Ah, itu hanya kebodohanku sendiri, jangan sampai jadi menyalahkan orang lain.
Sebab mereka itu pandai, tapi saat nanti aku tak miskin, lagi tak usah jauh-jauh menyambung
hidup dengan harus menahan terik di tanah orang.
Pusing saja saat aku hanya sebatas memikirkan, aku harus segera berteriak-teriak ke seantero
jagat. Supaya semesta mampu mengetahui, supaya hati mampu benar-benar merasa, tentang
perasaan ini.
. . . .
"Kamu wedang jahe aku
di muara garam setelah Surabaya
Bercocok tanam mustahil di sana
Hamparannya sudah putih bak parutan awan saja
Saat langit membiru, hamparannya tak lantas demikian
Tetap saja begitu, semoga adat jangan sampai menjerumuskan kita
Sampai meminum es sama dengan bunuh diri
Di sini aku hampir terbakar saja
Sedang sebab aromamu, panas, namun membuat manis kehidupanku." Aku meyuarakan
mantra penawar rindu dalam hatiku.
"Cep, jangan ngelamun aja. Besok teh kita jadi pulang ke Purwakarta. Pak Suryo udah ngasih
izin."
Kuterkejut ditegur Ibu yang datang dari belakang. Akhirnya Si petani garam ini dapat mudik
esok hari. Bersukalah hati.
***
Gejolak rindu di dalam dada lebih dari gelombang ombak di tengah lautan yang sedang
kuseberangi ini. Deburnya menyeruku untuk segera dapat memeluk Ia. Lamunanku bukan
lamunan. Di dalam kapal aku menatap seindah-indah lautan, aku tersenyum seraya berbisik
kepada hati, aku yakin akan segera meminangnya.
Coba saja simak pertanyaan ini. "Cep, apa kamu sudah mengabarkan kepulanganmu ke orang
Desa?"

Apalagi kendalanya apabila restu Ibu telah menyertaiku untuk meminang Ia. Ya, maksud
pertanyaan itu, Ibu mengingatkanku untuk memberikan kabar kepada calon menantunya bahwa
aku, aku dan Ibuku sedang dalam perjalanan pulang dari Madura. Pertanyaan itu, aku yakin, itu
wujud restu Ibuku. Maka seandainya kapal yang mengangkutku ini tak sanggup
mengantarkanku, atau bahkan lamban saja, aku sanggup memilih terjun menyelami lautan
sampai menyeberanginya untuk dapat sampai ke desa, untuk dapat meminangnya.
Setelah aku menjawab pertanyaan Ibuku dengan kata sudah, dan dengan sopan-santun
tentunya, aku menghayati kembali senyumanku. Aku tersenyum mengingat
percakapan-online-ku dengan Raisa saat masih di pelabuhan.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."

***

Mataku menghijau. Dihijaukan perkebunan yang terhampar di tepi sepanjang jalan menuju ke
rumahku. Hijau udara sejuk kuhirup. Melapangkan dada, melegakan nalar, menghempaskan
kesibukan-kesibukan rumit yang menjejal.
Suasana jiwa mendamai, hijau itu menggerus bayang hamparan putih bak parutan awan yang
gersang saat di sana. Kejadian-kejadian itu yang sudah terbayang dalam harapku saat kembali
pulang. Tapi di sini, ternyata kini sudah tak jauh beda dengan di sana.
Aku harus mendamaikan jiwaku sendiri tanpa adanya sambutan hijau yang menyejukkan itu.
Desaku sudah kering kerontang sebagian. Tanah-tanah ramahnya telah berganti menjadi
beton-beton yang angkuh sebagian. Perkebunannya masih ada sebagian, tapi bukan orang
desanya sendiri lagi yang menjadi pemiliknya. Mengapa? Entahlah.
. . . .
Tiba di depan rumah, tuas pintu melambai-lambai memanggilku. Ia tampak ingin lekas
bersalaman denganku, lalu kemudian mempersilahkanku masuk. Kaca-kaca jendela begitu
kompak dengan dinding-bilik rumah, menyambut kedatanganku. Apalagi mereka melihat Ibu
menjinjing buah tangan yang tidak sedikit. Terkesiap melihat ke atas, genteng-genteng
merapatkan barisan untuk tetap membuatku teduh dari terik, aman dari serbuan hujan yang
suatu hari akan datang bersama anugerah-Nya yang Ia bawa turun dari langit.
Betah aku di teras, namun indahnya halaman yang sedang kutatapi begitu pengertian. Ia
menyuruh aku masuk untuk lantas beristirahat saja terlebih dahulu sesampainya di rumah. Kala
jengah merasuki dan merusaki nalar sebab melihat kekacauan di tanah air mata negeri ini,
beruntung aku masih mendapati gubuk kecil dengan kejujuran dan ketulusan di dalamnya yang
memberikan aku serta Ibu sebuah kenyamanan. Setelah kubersujud atas nama keikhlasan, aku
merebah di atas kasur dipan yang pasrah.

***

Baru satu-dua hari di desa, sudah lebih dari satu-dua cerita yang saling tersampaikan oleh aku
dan Ibu kala bersua sanak saudara. Cerita tentang kisah hidup di Madura itu sudah terlalu
mainstream. Sebab setiap tahun semenjak aku dan Ibu bekerja di sana dari Lima tahun lalu,
kisahnya kurang lebih hanya begitu-gitu saja. Dan sanak saudaraku tentu jemu sebenarnya.
Aku ceritakan tentang satu rencana dari kepulanganku di tahun ini. Lantas segenap keluarga
besarku begitu senang menanggapi kabar gembira itu. Dukungan dan doa siap mereka
kerahkan. Betapa bahagianya aku. Hari bersejarah itu tampak akan begitu terkesan manis. Aku
mendapat restu sepenuhnya dari keluarga besarku.
Kedamaian itu benar adanya saat kita dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Sama-sama berbicara dengan rendah hati, dan bersikap sopan-santun tanpa meninggikan diri.
Hal itu yang hanya kudapatkan di sini, yang mematrikan hatiku bahwa tiada lain yang
kurindukan selain dapat berpulang ke desaku, bersua sanak saudara, bercerita tentang
kebaikan bersama keluarga besar. Pelukan hangat kekeluargaan di pedesaan memang hakikat
jati diri bangsa negeri yang berbudi luhur ini.
. . . .
Hari ke hari kulewati tanpa menemui siapapun. Sebab waktu demi waktuku sementara sedang
untuk mempersiapkan hari bahagiaku dengan calon menantu Ibuku. Segala prosedur telah
kuikuti, semua persyaratan telah kulengkapi, rukun-rukunnya telah siap kupenuhi, menuju cinta
yang sejati, terikat janji yang suci.
Sampai di hari ini, dimana segala perasaan menyatu, menggetarkan hati, menyumpal bibir
hingga tak sanggup tuk berucap selain doa dan dzikir. Di hari ini, hari dimana aku harus
menguatkan lahir batinku. Sebab esok pelangi itu akan kupandang dari dekat, akan dapat
kusentuh, sampai mendekapnya akan menjadi sebuah keberkahan. Hari ini, H-1 dari hari
pernikahanku.
Ketika tiba malam hari, tiba-tiba hadir pesan dari Raisa. Seketika aku gugup. Tiba-tiba aku
bangun. Aku terpaksa mati-matian untuk menghadapinya.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu enggak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini memang berbeda. Jika tak sampai
benar-benar gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas
bualanmu. Selamat berbahagia untuk pernikahanmu." pesan Raisa.
Terkesiap aku menyimak pesan itu. Ada apa dengan Raisa tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku
lantas meneleponnya. Pikirku hanya dengan cara itu untuk dapat meluruskan persoalan ini.
Satu-dua kali aku mencoba, Raisa tak menggubris. Saat di upayaku yang ketigakalinya,
kesempatan itu dipastikan hilang sudah. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif....." Raisa
mematikan telepon genggamnya.
Aku dibekukan keadaan. Betapa begitu dinginnya pesan bernada kecaman itu. Aku tak habis
pikir. Tanda tanya besar menyumbat hingga aku tak sanggup memejamkan mata. Aku duduk
merenung di atas kasur dipan yang membisu.
"Tok tok tok.... Ibu masuk ke kamarku.
"Cep, ayo tidur! Jangan dipikirkan menjadi beban, kamu teh butuh beristirahat. Banyak-banyak
berdoa, semoga besok dilancarkan."
Aku tersenyum mengiyakan perkataan Ibu yang mengira aku sedang merenungkan hari esok.
Tutur lembutnya hangat, Ibu mengelus-elus rambutku, mencairkan kembali suasana malam hari
ini. Sebelum beranjak kembali ke kamarnya, Ibu berpesan kepadaku. "Bermalamlah dengan
damai, tenanglah, esok kamu akan meraih kebahagiaanmu."
Tenanglah aku. Terkait pesan dari Raisa, aku serahkan persoalan itu kepada Yang Maha Kuasa.
Sebab sebagaimana mestinya hidup, ialah berserah diri. Atas kebesaran Tuhan, tanda tanya itu
terhempaskan, sampai akhirnya kudapat pejamkan mata.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Ia Salma binti Yahya dengan mas kawin tersebut, tunai!"
Alhamdulillahi robbil ālamin. Kalimat agung itu yang hanya dapat kulafalkan dari segelumat
perasaan yang aku rasakan dari nuansa istimewanya hari ini. Aku tak pernah merasakan
atmosfer ini sebelumnya. Sulit untuk mendeskripsikan semua setelah sah-nya ijab-kabul ini.
Pokoknya aku bahagia, benar-benar bahagia, itu saja.
Doa Pak Penghulu yang diamini segenap hadirin begitu menguatkan jiwaku. Betapa tidak, sebab
setelahnya itu aku dihampiri cahaya masa depan yang cerah, yang dengannya aku akan
mengarungi hidup, aku akan bertanggung jawab atas hidupnya. Ia Salma, wanita yang telah
sekian lama aku memelihara rindu untuknya, kini di hadapanku, mencium tanganku-kukecup
keningnya. Ia Salma istriku, bahagiaku.
Segera aku dan Ia bersinggah di pelaminan, menjadi raja dan ratu seharian, diberkati doa-doa
kebaikan dari semua orang, habis-habisan. Sanak saudaraku berlipat, keluargaku membesar,
betapa bersyukurnya menatap mereka semua menata keakraban. Aku juga melihat Ibu
mendekat dengan mertuaku. Benar-benar keramaian ini kedamaian.
Intermeso dari kesan mulia hari ini, aku berbisik kepada istriku bahwa aku hendak ke belakang.
Ada hajat kecil yang harus dituntaskan.
Istriku tersenyum malu-malu, merasa lucu. Ia hendak menyilakan, hanya ada satu hal menarik
menahan. Perhatianku dan Ia, bahkan mungkin semua hadirin tertuju kepada kurir yang tiba-tiba
datang. Tanpa cela Beliau berlenggang ke hadap pelaminan, tak sungkan-sungkan memberikan
sepucuk surat yang Si pengirimnya mengamanatkan bahwa surat itu mesti sampai langsung
kepada Si mempelai pria, pasangan dari Ia Salma.
Betapa terkagumnya aku jika itu benar demikian. Sungguh mengesankan, betapa mulia niat
seorang itu untuk memenuhi undangan. Sampai-sampai mengirim sesuatu untukku via pos. Ya,
tak ragu lagi, aku merasa surat ini adalah hadiah dari salah satu tamu undanganku.
Sepucuk surat sudah kupegang, Beliau pun melontarkan doa untuk kebaikan pernikahanku.
Setelah bersalaman kupersilahkan Beliau untuk mencicipi hidangan yang telah kami sediakan.
Permaisuriku kembali tersenyum. Tidak mencurigai, Istriku malah merasa lucu atas kisah kurir
yang turut hadir di hari pernikahannya, mengantarkan kado berupa surat untuk suaminya.
Intermeso sudah, Ia membisik, menyilakan barangkali suaminya ini hendak menuntaskan hajat
kecilnya.
Aku tersenyum, aku beranjak ke belakang barang-sesaat. Sampai di sana, tuntas sudah
ketegangan. Aku lega.
Lalu baru kusadari, sepucuk surat itu terbawa ke belakang. Kata lega berbalik kala kumelihat
nama Raisa di depan amplopnya. Aku panik.
Tulisan sarkastis yang juga tertera memaksa aku tak bisa tinggal diam. "dear : pemberi harapan
palsu" yang ditulisnya. Lantas aku keluarkan isi amplopnya untuk kubaca. Supaya aku
mendapatkan jawaban dari sebuah pertanyaan, ada apa dengan kamu, Raisa?
. . . .
Surat untuk Pemberi Harapan Palsu
"Kamu
Membuatku mendengar bisikan kayu kepada api
Tentang apa itu cinta
Kamu
Membuatku mendengar sajak awan kepada hujan
Tentang apa itu cinta
Denganmu aku merasa
meraba sekujur tubuhku
adalah semua tentang cintaku padamu
Rindu aku akut
Kau meracuniku
Sampai aku mati
Sampai kumenjadi abu dan tiada
Nyataku tak sampai bersamamu
Kau racun sebenarnya-benarnya
Melihatmu
Beranikanku bawakan mawar
Mendengarmu
Kuatkanku tanggalkan lelah
Meyentuhmu
Gagahkan gerak tubuhku
Merasukimu
Impian terindahku
Sayang,
Kau racun sebenar-benar racun
Bersamamu hanya sebatas harap yang kau beri
Ilusif
Nyataku tak sampai bersamamu
Untuk apa kerap bercakap denganku di setiap waktu, sampai larut, saat itu, jika sebenarnya kau
sudah mempunyai gadis lain sebagai calon istri
Kau pemberi harapan palsu."
Kacau, benar-benar kacau. Aku tak habis pikir. Aku tak tahu harus bagaimana.
"Hari ini kamu pulang, ya. Aku tahu. Hati-hati ya! Sebenarnya kamu pulang atau enggak, aku
merasa sama saja, kita tetap dekat. Tapi dengan kamu pulang, semoga pertemuan yang akan
menjadi pembedanya. Sekali lagi, hati-hati ya, hatimu!"
Syahduku menjawab, "Terimakasih, hatiku hati-hati. Tentu, semoga pertemuan nanti
mengesankan."
Mengingat percakapan terakhirku dengan Raisa.
Saat berada di Madura aku menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan Raisa. Hampir
setiap malam aku bercakap dengannya, sampai larut. Betapa salahnya ternyata aku
membuatnya akut, merindu kepadaku. Yang aku hanya bermaksud sebatas bertukar pesan
sebagai teman biasa, ternyata Raisa menafsirkan lain sampai terbawa perasaan, sampai ia
mengharap aku dapat menjadi teman hidupnya.
Lalu memang setelah kepulanganku dari Madura, aku tak berkomunikasi lagi dengannya. Meski
memang setiap hari Raisa menghubungiku. Tapi aku tak menggubrisnya sebab hari-hariku di
sini teruntuk menatap Ia gadisku, yang aku akan menata masa depan dengannya.
Dari semua itu aku tahu sekarang, tentang pesan Raisa kemarin malam.
"Selamat untuk hari bahagianya esok, ya. Aku baru tahu sekarang, kenapa kamu gak pernah
bisa diajak ketemu. Ternyata kesan yang aku dapat ini berbeda. Jika tak sampai benar-benar
gila, aku benar-benar akan berhati-hati lagi bercakap dengan pria. Terimakasih atas bualanmu.
Selamat berbahagia untuk pernikahanmu."
Kacau aku kini, rasanya aku ingin lenyap saja. Rikuh jika di satu sisi aku dalam kebahagiaan
sedang di sisi lain ada seorang dalam penderitaan gara-garaku.
"Tut tut tut....
Teleponku tersambung, tapi..... "Nomor yang Anda tuju tidak bisa menerima panggilan..... Raisa
tak menggubris teleponku. Tak adil rasanya jika persoalan ini tak dapat diluruskan. Dua-Tiga
kali aku meneleponnya, tetap tak digubris. Sebelum keempatkalinya, akhirnya aku mendapati
pesan dari Raisa.
"Sudah jelas semuanya, aku dan kamu sudah berbeda sekarang. Tenang, deritaku berbeda
dengan bahagiamu. Di sini penderitaanku akan segera sirna, di sana kebahagiaanmu sempurna.
Mendamailah di sana dengan Ia, aku baik-baik saja dan berhati-hati di sini. Jika tanpa balasan
pesan darimu."
Pesan Raisa memungkas semua persoalan dengan amat jelas. Aku tak diharapkan lagi hadir di
hidupnya. Aku hanya bisa menundukkan kepala seraya memohon maaf kepada Raisa,
memohon kepada angin malam untuk membisikkan maafku itu kepadanya nanti, saat ia hendak
tidur, beristirahat, mengistirahatkan kenangan yang telah terukir.
Maafkan Si pembual ini. Aku tahu harus bagaimana sekarang, berhati-hatilah hati.

Minggu, 22 Oktober 2017

Hari santri nasional, inilah pesan Bupati Purwakarta untuk santri nusantara



kopelpurwakartanews- Inilah  pesan bupati purwakarta kang Dedi Mulyadi untuk santri nusantara, saat ditemui kopelpurwakarta.blogspot.com dihalaman pemerintah purwakarta, Sabtu (21/10/2017). (Rez)

Tonton dibawah ini.


Minggu, 08 Oktober 2017

Semangat Berpancasila Dalam Toleransi Purwakarta



Semangat Berpancasila Dalam Toleransi Purwakarta

Oleh   : Hadi Ibnu  


Negara Indonesia berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila merupakan falsafah Indonesia dan mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda suku bangsa, agama, bahasa dan adat istiadat namun tetap satu jua. Dasar pemerintahan negara Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, arti dari demokrasi tersebut adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan Demokrasi Pancasila artinya demokrasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah serta pedoman hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila telah membimbing lahir batin perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam pancasila tercantum kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kekuatan, serta kesaktiannya, dan tidak ada satu kekuatan manapun yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga Pancasila itu sendiripun sejatinya adalah jatidiri bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per-kata, "Bhinneka" berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda, "Neka" dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. "Tunggal" berarti "satu" dan "Ika" berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Ketika berbicara tentang bangsa, saya sedikit teringat pendapat dari salah satu Ilmuwan yg pernah di jelaskan oleh guru PKN waktu di sekolah dulu, yaitu "Ernest Renanat" (seorang ilmuwan Prancis), ia berpendapat bahwa bangsa adalah kesatuan jiwa. Jiwa yang mengandung kehendak untuk bersatu, orang-orang merasa diri satu dan mau bersatu.  Artinya Bangsa dapat terdiri atas ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia, tetapi sebenarnya merupakan kesatuan jiwa. Apabila semua manusia yang hidup di dalamnya mempunyai kehendak untuk bersatu maka sudah merupakan satu bangsa.

Pan­ca­sila menjadi jawaban kegeli­sahan kita selama ini tentang menjaga egaliter dan kebera­gaman yang selalu dipermasalahkan di Indonesia. Pan­casila menjelaskan sila per­tama Ketuhanan Yang Ma­ha Esa telah menjadi bentuk ke­rendahan hati semua umat beragama kepada Tuhannya masing-masing. Dalan artian bahwasannya se­mua agama yang mengajarkan cinta ka­sih. Jika kita perhatikan sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Sisi “adil” men­jadi kata kemerdekaan indi­vidu setiap manusia tanpa ada keterikatan kepada siapaun kecuali penghambaanya kepa­da Tuhan. Itu pun diperkuat sila ke empat yang juga me­ngan­dung kata “musyawarah” sebenarnya ini adalah etika Islam, kata Nurcholish Madjid ini merupakan etika Islam yang dimasukan kedalam nila-nilai yang umum. Maka dari itu, sila kelima yang mengandung isi pemahaman tentang Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia meru­pakan suatu upaya pembebasan ma­syarakat secara luas, dimana saat ki­­ta telah merdeka dan men­da­­patkan pejernihan diri seharusnya bisa menjadi se­ba­gai sosok atau seorang yang bisa diajak ber­­musyawarah, yang hatinya tak penuh dengan kebenciaan bahwasannya dengan me­­yakini kemerdekaan ini­vi­du yang kita miliki dalam berbeangsa dan bernegara itu beda dengan pem­­bebasan diri  sebagai ben­tuk penghambaan kepada Tu­han. Ada batasan dimana kebebasan itu dimiliki, diperjuangkan dan dipertahankan, namun tetap tidak lepas jalur dari attitude antar sesama. Karena, ketika berpancasila tanpa dibarengi dengan spiritualitas dan emosionalitas, masyarakat akan sulit menerima dan sulit memahami perbedaan yang dihadapinya. Sebab sejatinya etnisitas, religiusitas maupun ideologi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia dengan ke-Bhineka Tunggal Ika-annya, serta sikap toleransilah yang menjadi perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa.

Toleransi di purwakarta hari ini menjadi sorotan nusantara dan dunia, karena sebagian besar contoh pada tahun ini Purwakrta terpilih menjadi tuan rumah Word Tolerance Conference (WTC) 2017. Acara WTC itu diikuti oleh puluhan delegasi dari berbagai negara di dunia, ini adalah prestasi yang patut dibanggakan oleh masyarakat Purwakarta khusunya, bahwa ini adalah sebuah bentuk usaha yang diprogramkan oleh pemerintah Purwakarta untuk mengajak seluruh umat manusia dalam menciptakan kedamaian dunia dengan saling memahami dan menghormati setiap perbedaan yang dimiliki. Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi banyak mengajari kepada masyarakatnya bagaimana kita menolong, menghormati dan membangun cinta kasih antar sesama, dengan menerapkan banyak falsafah tentang kebudayaan Sunda dan spirit berpancasila.

Sebanyak saya mencari tahu tentang daerah mana yang memiliki nilai toleransi yang tinggi, hanya di Purwakarta lah toleransi diajarkan dan diaplikasikan kepada para pelajar dan masyarakat. Karenanya, kini di Purwakarta telah diterapkan sebuah program penyediaan sarana ibadah di sekolah-sekolah di Kabupaten Purwakarta, yang mana sarana ibadah itu tidak dikhususkan hanya untuk satu agama saja. Bahkan, Purwakarta telah memiliki program unggulan belajar khusus tentang agama yang rutin diadakan pada hari jum’at, seperti mengaji kitab kuning yang diajarkan kepada pelajar yang beragama islam, memakai sarung dan kopeah hitam khusus ketika hari jum’at. Ini adalah suatu pembentukan sikap toleransi sejak dini kepada pelajar khususnya, karena dengan berpancasila kita bisa mengerti akan toleransi yang sebenarnya.

Akan tetapi, perasaan prihatin timbul atas terkikisnya penghargaan terhadap ke-Bhinekaan dan kedamaian bangsa, yang hari ini muncul dalam bentuk disintegrasi dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan segala. Disadari bahwa, kebangkrutan moral kebangsaan seperti inilah yang nantinya akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka sesama saudara se-tanah air. Kondisi ini juga akan menjadikan bangsa Indonesia semakin rapuh dan kehilangan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Karena, Indonesia masa depan ditentukan oleh para pemuda masa kini, dengan harap muda-mudi pertiwi mampu memiliki perasaan lebih peka lagi untuk membaca lingkungan, sosial, kebutuhan alam, mengkaji keagamaan, dan segala yang menyangkut soal tenggang rasa. Sebab dari sanalah sikap toleransi antar sesama lahir dan tumbuh besar dengan baik, sehingga Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sekedar rumus serta kode buntut yang hanya berisi harapan dan khayalan.

Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah




Muharram, Refleksi Awal Sang Pionir Lillah
oleh: Abdillah ketua UKM Jurnalis STAI Dr Khez Muttaqien

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS. At Taubah : 36).
Y
ang paling awal dan harusnya menjadi ajang serta tempat yang berkesan bagi Hamba Allah, itulah Muharram. Nama yang tak asing bagi semua Muslim, nama bulan yang sengaja untuk dijadikan pijakan awal dalam tahun Hijriyyah, agar menempuh hidup baru dengan situasi yang baru pula—kebaikan. Namun ada hal esensial yang kerap terlupakan, atau entah sengaja dilupakan dengan seremoni-seremoni belaka tak berujung puas.
Andai semua tahu, andai semua mengerti akan esensi darinya. Meski memang hanya Dia, Allah Yang Maha Tahu akan segala esensi. Memang adanya seperti begitu, namun pantaskah kita sebagai makhluk yang katanya paling sempurna ini tak tahu seremeh apapun dari al-Muharram ini?
Sang pionir Islam Rasulullah SAW pernah bersabda,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
 “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebetulnya tak perlu melihat kepada dalil di atas pun, kita sudah tahu apa arti Muharram sendiri secara sepintas. Ya, kata bentukan dari Harrama, Muharramun (objek—maf’ul) memiliki maknya yang secara telah telah menunjukkan akan kesucian bulan ini.
Dengan adanya larangan Allah untuk melakukan kezhaliman, kelaliman dan aniaya serta kekejian lainnya, (QS. At Taubah : 36).
Menghadapi realita dengan adanya satu-dua dalil di atas saja—mengingat kita sedang hangat duduk di bulan Muharram ini.—Sudah  seyogianya bagi para “penderita” kontemplasi dan Ulul albab, agar mengambil ibrah serta bertanya ke dalam diri,
“Apa yang telah kita lakukan pada hari warsa di belakang sana?” “Apa yang akan kita perbaiki?” “Apa yang telah kita lakukan, hingga melangkah sejauh ini?”
Hura-hura? Bercanda? Tak tahu kemana?
Seorang Hamba dan penghamba sejati akan berkata, “Ibadahku kepada-Nya, sejauh manakah?”
Sang pencari jati diri (serta ilmu) akan berujar, “Buang jauh-jauh yang tak perlu dan kegagalan, kita cari peluang sebanyak mungkin dan mengusahakannya! Wahai diri!”        
Ahli bersyukur akan bergumam, “Oh, Ilahi… Umur ini kian berkurang,  kian hari kian bertambah tua, tahunmu tengah menyeok-nyeok saja dengan cepat, perkenankanlah hamba-Mu ini mensyukuri segala nikmat yang tak terhitung.”

Namun, berbeda dengan sang pionir fi sabilillah, ia akan berjuang senantiasa menjadi segala yang terbaik, menyatukan watak dan tabi’at halus dari segala lini Hamba Allah dengan padu dan teliti. Meski jurang keberhasilan secara pluktuasi kerap dihampirinya, terhambat kerikil pecah yang bersepuh debu, dan asa yang sering naik menghulu dan turun menghilir. Iman tetap terusaha untuk dijaga dan kesucian pangkat Hamba-Nya harus tetap tersematkan indah di hati.
Tak perlu menghamba kepada selainnya, menjauh-menjauh dan menolak.
Sang Pionir Lillah akan berkata pada dirinya, “Aku telah menghampiri sebagian kegagalan, separuh umur pada warsa kemarin. Tak akan kubiarkan kegagalan terus mengintai dan menguntit.”
“Ia (kegagalan) harus kuhadapi dengan asa dan serbuk kekuasaan-Nya.  Tak perlu juga orang disekitarku mengetahui kepahitan ini, yang ada hanya aku yang menjadi sinar.”
Sang pionir lillah tahu, Muharram akan menjadi sebuah pijakan awal untuk menempa dirinya hingga ke garis depan, tak perlu bersama banyak teman untuk memperbaiki dirinya, partikel kecil dirinya adalah teman. Allah pun cukup. Yang lain hanya wasilah keridhaan-Nya.
Sang pionir lillah akan mencoba menggunakan Muharram sebagai batu sandungan awal menghadapi dinamika yang akan dihadapi.
Ia akan mencoba menjadi pengelana yang siap mengantarkan cahaya terang benderang untuk orang di sekitarnya, bukan hanya sebatas menjadi teman yang dilupakan dan melupakan.

“Tak apa,” katanya, “Pengorbanan dalam suatu proses, tak akan membohongiku, ada Dia Yang Maha Mengetahui.”
 فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Maka janganlah kalian menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.”

Ia akan mengingat penggalan ayat suci tersebut, kezhaliman yang tak ada toleransi sangat di larang dalam Muharram. Oleh karena itu, sang pionir lillah akan berusaha tetap adil dan proporsional.
Menjadi Hamba yang beribadah dan mengambil bekal dari hari kemarin hanya untuk-Nya, menjadi insan yang bersyukur atas umur dan nikmat yang tercecap sedap di lidah dan perasaan, serta menjadi pencari jati diri (serta ilmu) yang cakap mengambil segala hal yang halal untuk diperjuangkan dan modal usaha untuk investasi di hari esok. Hanya menempa diri untuk kembali disinarkan kepada sesamanya, lebih dari sekedar teman—meski mereka temannya tak tahu.

Bak matahari yang tak mengharap balasan sinar kehangatan dari para manusia, seperti menjadi angin segar yang tak mengharap ada sumber lain yang menyejukkannya.
Bermodal diri sendiri, untuk mencari ridho-Nya. Nama orang lain hanya untuk diperjuangkan.
Muharram bukan sekedar baru, Muharram bukan sekedar pengharapan semu, Sang Pionir lillah yang cakap akan menggunakan momentum ini sebagai ajang mahabbah dan tempaan kerinduan.[]     

Sabtu, 23 September 2017

kopel purwakarta akan kembali menggelar malam puisi di ulang tahun Stie Muttaqien ke 16






Kopelpurwakarta.news- Komunitas Pena dan Lensa (KOPEL) Purwakarta akan kembali menggelar malam puisi purwakarta, pada hari Rabu (27/09/2017) mendatang di halaman kampus STIE Dr Khez Muttaqien.

Kegiatan ini digelar kembali dalam memeriahkan ulang tahun Stie Muttaqien yang ke-16, dengan rangkaian kegiatan dari tanggal (26/09/2017) sampai (01/10/2017).

Sansan Ramdani selaku Ketua BEM Stie Dr Khez Muttaqien mengatakan, Kegiatan ini adalah kerjasama BEM Stie Muttaqien dengan KOPEL Purwakarta didalam kegiatan memperingati Hari jadi Stie Muttaqie yang ke -16, Ujar sansan saat di wawancarai, Minggu (24/09?2017).

“Semoga  dengan kegiatan ini mahasiswa purwakarta, khususnya mahasiswa Stie Muttaqien dapat membangkitkan bakatnya dalam bidang sastra dan seni,” katanya.

Ini adalah kegitan malam puisi purwakarta yang akan kita gelar sebulan sekali dimanapun itu tempatnya, Ujar Hadi Ibnu Sabilillah selaku Ketua koordinator KOPEL Purwakarta saat di wawancarai disekretariat KOPEl Purwakarta yang bertempat di Gang Mekarsari 2 Maracang.


 “Alhamdulillah di bulan september ini kita bekerjasama dengan BEM Stie Muttaqien dalam rangkaian hari jadi yang ke 16 tahunnya, sebelumnya bulan agustus kemarin kita menggelar malam puisi di kampus Sties Darul Ulum”

Tempat kegiatan malam puisi ini tidak menentu dalam perbulan nya, tapi untuk bulan bulan kedepan ini kita akan usahakan fokus keliling kampus purwakarta terlebih dahulu.

“Malam puisi ini terbuka untuk umum, kenapa kita fokus terlebih dahulu keliling kampus, karena kita ingin  mengajak mahasiswa-mahasiswa untuk menjadi kontrol sosial, dengan melalui dunia literasi ini adalah tugas mereka” Tandasnya (His)

Jumat, 22 September 2017

Secangkir kopi keriduan,"Kopi kurang manis"




OLEH : HADI IBNU SABILILLAH


Kopi kurang manis

Ada kekurangan pada secangkir kopi waktu itu, pada rasa yang berbeda, pada suasana yang tak rela,pada hujan yang tak reda, sedetikpun melupakan kemanisan senyumnya

Kegembiraan selalu datang di sela-sela waktu yang tidak bisa diketahui, begitupun sama dengan kesedihan, Ada yang berbeda dari hari hari biasanya dan ada yang berbeda di prasa dan rasa sebelumnnya, wanita yang kusebut ukhty itu benar-benar menghilang tanpa kabar, meninggalkan kerinduan yang hidup dalam jejak jejak langkahnya ditempat yang pernah dia singgahi,aku tidak sadar senja sore itu telah kembali membawaku tersesat didalam ruang kerinduan, Aahhh.... bodoh !!!,  pantas saja sore ini semuanya serasa berubah dan berbeda, ternyata kopi sore itu kurang manis. Tidak manis dengan seduhan kopi kopi sebelumnya, aku kembali diam dan termenung kembali kepada ingatan masa lampau, aku mendengar dia memanggilku dan membisikan pesan pesan yang pernah aku tangkap  oleh telinga ku, “A hadi, tetaplah menjadi diri sendiri, sederhana,dan apa adanya. namun ketika aku membuka mata,  itu hanya rindu rindu yang berwujud kesunyian, rasanya aku seperti di permainkan oleh malam, di koyak koyak oleh sunyi yang dendam kepadaku.

Ada rindu di dinding dinding kamarku

“Ada diantara yang tiada menjelma hawa.
Laki laki, jujur saja seperti tercambuk dan tersiksa
Malam malam ku adalah malam malamnya
Ada rindu di dinding dinding kamarku, tentang mu.

Hawa , hawa, hawa, dan adam.
Itu yang pernah diucapkan oleh sang baginda
Hawa, hiduplah kau dengan tulang rusuk ku.
Bersenandung hidup bersamaku, menebus rindu kekusaannya.

Hawa, ada rindu di dinding dinding kamarku tentangmu
Rindu yang bertuliskan sajak dan puisi untukmu
Rindu yang berbentuk do’a harap untukmu
Dan rindu atas nama, aku lalala padamu.

Tidak terasa waktu menunjukan jam 01:26 Wib, malam semakin berlarut jiwa ku semakin nyata berdiskusi dengan suara detik-detik jam dinding yang terpasang dikamarku, bernyanyi riang bersama suara suara jangkring tengah malam, aku bertanya kepada semesta, apakah ini adalah kerinduan? Yang banyak orang orang bincangkan, merindukan peristiwa-peristiwa hdup yang telah terjadi, merindukan yang telah tiada,  merindukan waktu waktu yang tidak bisa di ulang kembali? Apakah rindu sebuah peristiwa yang membahagiakan seseorang, atau sebaliknya?, menyedihkan dan membuat orang itu tersesat didalam kehidupan ruang yang selalu tentang hal-hal yang dirindukannya itu?, angin menyapa telingaku, seperti ada sesuatu yang akan di sampaikan oleh semesta kepadaku, aku diam, dan termenung lagi mensiasati gerak  gerik semesta. Seketika aku diam, pikiranku menangkap sebuah pernyataan yang begitu susah untuk aku definisikan. Mungkin ini jawaban dari semesta“Rindu itu seperti kabut, ketika jauh terlihat amat tebal segumpalan putihnya, namun ketika sudah kau dekati kabut itu akan menghilang”, yaaaps.!!! Menuurutku rindu-rindu yang digemari oleh para pecandu, seperti waktu waktu yang sudah aku lewati pada waktu lalu, tak sabar ingin berjumpa dengan gadis itu, namun ketika berjumpa dengan nya, semua memudar bergantian dari rindu rindu menjadi obrolan obrolan yang kaku.

Waktu adalah hati dari sebuah peristiwa, yang aku  ingat ketika aku menikmati sebuah peristiwa yang terjadi adalah waktunya, seperti ketika aku menikmati secangkir kopi ini, yang aku ingat adalah kamu (Ukhty), serbuk serbuk hitam yang  menjadi cairan hangat dengan rasa ke khasanya ini membawaku kepuncak ketenangan, ini adalah penawar, obat obat disaat aku merindu berat. Sebelum aku terlelap dan hidup kembali di alam alam mimpi, semesta berpesan kepadaku melalui daun daun pohon yang jatuh berterbangan di hempas angin, “Tetap jaga pohon pohon ku” sebaliknya aku berpesan kepada semesta di sepi malam ini , “tetap jaga udara udara ku,aku hidup menikmati cantik dan fana mu dengan udara dan udara pula yang membuat aku cepat menua”.

Kemarau
Kemarau
Rindu rindu terbang mencari telaga perjumpaan
Kemarau
Hiuk piuk nyanyian nyanyian sunyi merdu di bawakan segerombolan angin malam
Kemarau
Manusia manusia meninggal dengan perlahan, diatas gurun kegelisahan dampak kekemarauan rindu panjang
Kemarau
musim panjang seperti waktu waktu yang sudah terlewat
Dengan penuh harap yang diselimuti doa doa manusia berhati suci.
Kemarauku kini panjang, seperti rindu rindu yang terkekang


 Next>>>

Sabtu, 16 September 2017

tonton..!!! Keindahan puncak gunung parang


OLEH : M Kiki
Kopelpurwakarta.news- Salah satu keindahan destinasi wisata purwakarta, Lokasi gunung Parang purwakarta.

"Ketinggian gunung parang, yang indah dan sejuk". (His)


Video Dokumenter, Polibisnis Berbagi dibulan Ramadhan




OLEH : IDAM (Penggiat UKM Polaroid Polibisnis Dan Kopel Purwakarta)

Kopelpurwakarta.news- Dokumenter kegiatan POLIBISNIS berbagi, pada waktu bulan ramadhan 2017, beberapa bulan yang lalu.

Kegiatan ini di gelar oleh BEM POLIBISNIS, dengan membagikan makanan untuk sahur kepada masyarakat purwakarta yang ada di sekitar pinggir jalan kota purwakarta. (His)

Kopelpurwakarta.news | Berita karya pemuda purwakarta

Jumat, 15 September 2017

Aku dan Rakyatku



Aku dan Rakyatku

OLEH : Hadi Ibnu Sabilillah


aku datang dipanggil kesedihan
desaku terbanjiri oleh lautan air mata
menangis rakyatju terdzolimi penuh canda.
tuan menari diatas semua, rakyat menangis bercucuran derita

aku datang dengan sejuta diam
aku adalah pahlawan yang kesiangan
tuan membungkamku, membodohiku dengan selembar uang
rakyatku saling membunuh penuh kebingungan

kau tolol mulai berkoar, tanpa tindakan yang menyenangkan
aku dibutakan oleh selembar uang, kekuasaan dansenyuman rayuan gombal

haiiiii....domba domba.
Adulah aku jangan rakyatku yang kau adu adu

Yang salah dibenarkan yang benar di salah-salahkan
Aku datang, kita datang kami semua datang
Jeritanku tak akan membalas kedzoliman mereka.
Tuan tuli tak mendengar layak tai, tuan buta tak melihat layak babi yang buta

Tuhaaan....
Angkat aku menjadi dewamu, malaikat malaikat tak bersayap.
Melindungi yang lemah, mengadili yang tak teradili
Merangkul yang terpukul

Purwakarta, 15 juli 2017

Kusaksikan Malam dari Matamu


Kusaksikan Malam dari Matamu

OLEH : AM Goenapian

Gorden-gorden tak membiarkan mataku
bersaksi
perihal tumpahan pekat
sendiri

Lampu nyala di tubuh
Kunang-kunang mengenang kening
Tempat basah cerita melepas penat

Dari sunyi
Aku mencatat nama
sebelum pintu memperlihatkan diri;

Meja berkain biru
tivi penyamar sunyi.

di sebuah bola, kisah-kisah memutarkan diri
menuruni lekuk mata, dan
jurang pipi

di hadapanku pohon tumbuh
dedaunan jatuh dahan awan hampir patah

jam di kepala memberi kabar
sepi lebih lama tinggal dari nyeri
seusai perempuan menjatuhkan
hujan warna hitam
dari  bola matanya

Purwakarta, 4 Agustus 2017


Biodata:
AM Goenapian adalah nama pena dari Ade Gunawan, Pria kelahiran 28 Maret 1995 di Purwakarta.

Kamis, 14 September 2017

Ingin tau keadaan pasar rebo? Tonton disini


OLEH : BAGUS IRIANDI

Kopelpurwakarta.news- Kesan Pasar Rebo Purwakarta yang berlokasi di Jalan Kapten Halim Kelurahan Nagri Kidul.

Pasar tradisional ini adalah pasar yang terletak sangat strategis di purwakarta

"Tempat senyum senyum sederhana dan tempat orang kecil yang survive di tengah pasar modern yang kian menjamur", Tutur bagus. purwakarta Jumat (15/09/2017). (His)

Satu jam untukmu



Satu Jam Untukmu

OLEH : Muhammad Kiki Lutfi

Hening. Seperti tidak ada kehidupan, hanya saja jarum jam dinding itu yang masih dan terus berputar. Selebihnya, terdiam kaku.
Pernah aku rasakan kebahagiaan itu dalam kenyataan. Tetapi waktu, membawaku pergi dan berlalu dari kebahagiaan itu.
Dulu memilikimu adalah sebuah kenyataan. Namun kini, memilikimu hanyalah sebuah khayalan. Aku sadari, kepergianmu karena aku. Karena kebodohanku dalam menjaga hati dan perasaanmu. Seringkali aku membuatmu menunggu, karena dengan sengaja seharian aku tidak mengabarimu. Seringkali aku membuat harimu tidak menyenangkan, karena dengan sengaja aku tidak menepati janji. Dan seringkali aku membuat  air matamu berjatuhan, karena dengan sengaja aku menggandeng perempuan lain dihadapanmu.
Kala itu, aku mengnganggap bahwa kamu akan terus bertahan untukku. Karena yang aku tahu kamu sangat mencintaiku. Tetapi ternyata aku salah menduga, bahwa cinta yang besar pun akan pudar dan hilang, jika cinta itu tidak dihargai.
Setelah kepergianmu, hari hari yang aku lewati terasa sepi. Tidak ada lagi pesan singkat bernada kekhawatiran yang mendarat ke ponselku, tidak ada lagi celotehan amarah yang berebutan masuk ke telingaku, dan tidak ada lagi penyesalan dalam hati saat aku tahu bahwa kamu cemburu.
Bagiku kepergianmu adalah sebuah tamparan yang menyadarkanku. Menyadarkan aku bahwa hati bukan untuk disakiti, dan terlebih adalah bahwa cinta untuk dijaga.

Kamis, 14 September 2017.

Entri yang Diunggulkan

Oleh: Hadi Ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU dan wakil sekretaris  PC IPNU Purwakarta) Melibatkan kembali para pelajar dan sebaris ...